Terburu-buru dalam Urusan Talak
Banyak orang yang meremehkan urusan talak. Anda melihatnya begitu gampang menggerakkan lidahnya untuk mengeluarkan kata talak, tanpa terlebih dahulu memikirkan akibatnya. Sering kali talak terjadi karena sebab-sebab sepele,sehingga talak merusak kebahagiaan yang telah tegak berdiri.
Seorang suami seringkali sedemikian tergesa-gesa dalam menjatuhkan talak. Ia menganggap sudah tidak layak lagi untuk melanjutkan kehidupan rumah tangga dengan istrinya. Padahal, sejatinya masih ada harapan adanya kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangganya tersebut.
Maka dari itu, terburu-buru dalam urusan talak merupakan kesalahan yang harus diluruskan. Oleh karenanya, di antara bentuk ketegasan peringatan Allah untuk tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan talak adalah menjelaskan kemungkinnan adanya kebaikan yang banyak pada diri istri yang cukup untuk mempertahankan kesucian rumah tangga dan melanjutkan hubungan pernikahan dengannya. Kemudian, bila pada istri terdapat hal-hal yang tidak disuka, hendaknya suami bersabar dan menelisik hikmah di balik kesemua itu. Sebab, mayoritas maslahat jiwa ada pada hal-hal yang tidak disukainya, sementara mayoritas bahaya dan sebab-sebab kebinasaannya ada pada hal-hal yang disenanginya. Seringkali sesuatu yang dibenci justru mendatangkan kebaikan; sedang sesuatu yang dicintai malah mendatangkan keburukan. Bagaimana tidak, sedangkan Allah –subhanahu wa ta’ala– telah berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا.
“… dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Qs. An-Nisa : 19)
Tatkala menafsirkan ayat tersebut, Ibnul Jauzi-semoga Allah merahmatinya- berkata, “Ayat ini menganjurkan untuk tetap mempertahankan istri, meskipun ada perasaan benci kepadanya. Ayat ini juga mengisyaratkan dua makna. Pertama, manusia tidak mengetahui sisi-sisi maslahat. Pasalnya, bisa jadi kebencian akan membuahkan kecintaan, sedang kecintaaan akan berbuntut kebencian. Kedua, manusia hampir-hampir tidak menemukan kecintaan tanpa mengandung kebencian sedikitpun. Maka hendaklah ia bersabar atas apa yang dibencinya demi menggapai apa yang dicintainya (lihat, Zadul Masir, II:42)
Oleh sebab itu, berapa banyak orang yang tidak mencintai istrinya, tapi ia tetap mempertahankannya, lalu lahir anak-anak berbakti yang memberi banyak manfaat kepadanya dan menyebarkan kebanggaan serta nama baiknya. Sebaliknya, berapa banyak pula orang yang diuji dengan istri yang merampas hatinya, merusak agama, dunia dan keluarganya.
Selain itu, seorang muslimah, tidak mungkin dibenci dari semua sisi. Jika suami mendapati sesuatu hal yang tidak disukainya, pasti ada perangai lain yang disukainya. Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda,
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَر
Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak menyukai satu akhlak tertentu, ia pasti menyukai akhlak yang lain darino. 1469)
Wallahu a’lam
Sumber :
Dinukil dari “Min Akhthaa-il Az-Waaj“, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, (Edisi Bahasa Indonesia), hal. 145—146 dengan sedikit gubahan
Amar Abdullah bin Syakir