Ada tipe suami yang apabila hendak menggauli istri, ia menggaulinya tanpa terlebih dahulu membaca doa yang dituntunkan, entah karena tidak mengetahui bacaan doanya, atau lupa atau karena kurang perhatian.
Tentu ini adalah sikap lalai dan sembrono. Sebab, meninggalkan do’a berarti menyelisihi sunnah dan memicu penguasaan setan atas agama dan fisik anak bila ditakdirkan terlahirnya anak. dan Bisa jadi karena meninggalkan doa tersebut menjadi sebab penderitaaan dan kesengsaraan bagi anak.
Karenanya, diperingatkan bagi suami untuk tidak lupa membaca doa tersebut. Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Sekiranya salah seorang di antara mereka hendak mendatangi istrinya membaca :
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
(Bismillah, Allahumma Jannib-naa asy-Syaithaana Wa Jannib asy-Syaithaana Maa Razaq-tana)
Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami (anak) ‘ sebab, bila ditakdirkan terlahir anak untuk keduanya dalam hubungan tersebut, maka setan tidak akan membahayakannya selamanya (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6388 dan Muslim, no. 1434)
Ketika mensyarah hadits tersebut, Ibnu Hajar berkata,”sabda beliau, …” maka setan tidak akan membahayakannya selamanya,’ yakni setan tidak membahayakan anak tersebut, di mana setan mempunyai kemungkinan untuk menimpakan bahaya pada agama dan fisiknya. Maksudnya bukan menghilangkan bisikan setan secara total (Ibnu Hajar, Fathul Bari, XI : 195)
Saat mensyarah hadis yang sama, Imam an-Nawawi –semoga Allah meridhainya- berkata, “Al-Qadhi berkata, ‘ada yang berpendapat, ‘ Setan tidak akan membahayakannya,’yaitu anak tersebut tidak akan diserang oleh setan. Juga ada yang berpendapat, ‘setan tidak akan menusuknya ketika lahir, berbeda dengan anak-anak yang lain. Dan, tidak ada seorang pun yang memahami hadits tersebut secara umum mencakup semua bentuk bahaya, bisikan dan godaan (Shahih Muslim bisy Syarhin Nawawai, X : 7)
Wallahu a’lam
Sumber :
Dinukil dari “Min Akhthaa-il Az-Waaj“, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, (Edisi Bahasa Indonesia), hal. 93-94.
Amar Abdullah bin Syakir
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,