Menanggapi Teori yang Menghalalkan Riba
Teks-teks al-Qur’an dan hadis begitu jelas menyatakan bahwa riba diharamkan. Dan tidak mungkin seorang muslim meragukannya. Akan tetapi dewasa ini ada beberapa teori ekonomi yang membenarkan riba. Seolah-olah riba memang sebuah keharusan agar tercapainya keadilan.
Teori-teori ini dibuat oleh para ekonom barat dikarenakan pada awal abad pertengahan gereja katolik begitu gencarnya melarang praktek riba (usury) dalam komunitas masyarakat Eropa. Akan tetapi seiring dengan kemajuan perdagangan di Eropa dan menguatnya pengaruh undang-undang Romawi yang melegalkan interest (yang pada asal katanya, berarti : ganti rugi keterlambatan pelunasan hutang, maknanya lebih sempit daripada riba) dan melemahnya pengaruh gereja maka para ekonom Eropa menggunakan kata interest (yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan : bunga) sebagai ganti dari kata urusy yang diharamkan gereja, namun dalam terminologi ekonomi makna dua kata ini tidak berbeda.
Untuk melegalkan riba, para ekonom tersebut berpacu membuat teori-teori pendukungnya(Dr. Abdullah al-Umarani, al-Manfa’ah fi al-Qard, hal.82)
Mengingat teori-teori tersebut beredar di kalangan umat Islam yang terkadang membuat mereka ragu akan kesempurnaan agamanya maka dirasa perlu untuk menanggapi teori-teori tersebut.
Teori Agio, yaitu : uang yang ada saat ini lebih bernilai daripada uang yang ada di masa mendatang dari 2 sisi :
1. Manusia secara naluriyah lebih mengedepankan uang yang ada saat ini.
2. Uang selalu mengalami inflasi setiap harinya, maka bunga dianggap sebagai penutup inflasi yang terjadi pada uang kreditur. Oleh karena itu, kreditur berhak menarik bunga berdasarkan rasio inflasi sebagai ganti rugi dari turunnya nilai uang yang dipinjamkan.
Tanggapan : teori ini dapat ditanggapi sebagai berikut :
1. Sebenarnya, penyebab utama terjadinya inflasi adalah bunga, karena pihak produsen selalu memasukkan bunga yang harus dibayar kepada kreditur ke dalam biaya produksi yang tentunya mempengaruhi harga jual suatu barang. Setiap kali rasio bunga naik maka harga jual suatu barang pasti naik. Maka tidak mungkin masalah inflasi diselesaikan dengan cara penghitungan bunga yang merupakan sebab utama terjadinya inflasi.
2. Uang pinjaman yang diberikan oleh kreditur jika tetap berada di tangannya juga pasti terkena inflasi. Jadi penyebab inflasi bukan karena uang itu berada di tangan debitur. Karena kenyataannya inflasi berakibat pada semua orang.
3. Terkadang yang terjadi adalah sebaliknya di mana daya beli sebuah mata uang menguat. Namun tidak seorang pun yang mengatakan bahwa pihak debitur berhak mendapat bunga dari uang yang dia pinjam sebagai ganti deflasi. Bahkan pihak debitur tidak akan menerima hal ini, padahal seharusnya keuntungan berimbang dengan kerugian(Dr. Yusuf as-Syubaili, al-Muqaddimah filmasharif Islamiyah, hal. 73)
Teori Heek, yaitu : waktu memiliki nilai sebagaimana nilai yang dimiliki sebuah barang, maka bunga yang diberikan oleh debitur adalah sebagai imbalan nilai waktu dari uang yang dipinjamkan.
Tanggapan : tidak dapat dibenarkan bahwa waktu memiliki nilai sebagaimana nilai yang dimiliki oleh jasa dan barang. Buktinya seseorang yang tidak memiliki jasa dan barang akan tetapi memiliki waktu yang sangat panjang (pengangguran), apakah waktu tersebut memiliki nilai yang harus diberi imbalan ? Tentu tidak, akan tetapi waktu yang memiliki nilai yaitu waktu yang berkaitan dengan jasa dan barang.
Teori Adam Smith,yaitu : rasio laba (profit) umumnya lebih tinggi daripada bunga (interest), maka bunga adalah sebagai ganti rugi untuk kreditur atas sebagian laba yang tertunda karena uangnya dipakai debitur, sedangkan sebagian laba lagi untuk debitur. Dengan demikian, kedua belah pihak sama-sama mendapat laba(Dr. Abdullah al-Umarani, al-Manfa’ah fi al-Qard, hal.73)
Tanggapan : riba tidak mungkin merupakan hubungan saling menguntungkan antara peminjam dan pemberi pinjaman. Riba pada hakikatnya merupakan kezhaliman terhadap pihak peminjam. Karena pemberi pinjaman hanya mau menerima sebagian laba bila pihak peminjam mendapatkan laba, akan tetapi dia tidak mau menerima sebagian kerugian bila pihak peminjam menderita kerugian. Andai dia mau menerima sebagian kerugian, baru dapat dikatakan hubungan itu saling menguntungkan yang dalam fikih muamalat hubungan saling menguntungkan antara pemodal dan pekerja dikenal dengan akad mudharabah.
Teori resiko, yaitu : bunga yang diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman merupakan ganti rugi dari berbagai resiko yang dihadapi oleh pemberi pinjaman, seperti resiko peminjam tidak dapat melunasi utangnya.
Tanggapan : Islam mengakui adanya resiko yang dihadapi oleh pemberi pinjaman. Akan tetapi resiko tersebut tidaklah memiliki nilai yang harus diberi imbalan dengan uang, karena bukan merupakan solusi untuk mencegah resiko. Yang dapat mencegah resiko adalah rahn (barang gadai) yang dititipkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Bilamana terjadi resiko tidak mampunya peminjam mengembalikan hutang, maka barang tersebut boleh dijual untuk menutupi hutangnya, dan sisa dari penjualan barang tersebut dikembalikan kepada pihak peminjam.
Teori Marshall, yaitu : bunga sebagai imbalan waktu tunggu dan tidak mampunya kreditur (pemberi pinjaman) menggunakan uangnya untuk memenuhi kebutuhan sesaat.
Tanggapan : inilah yang membedakan akad transaksi pinjam meminjam dalam Islam dengan teori ekonomi kapitalis. Karena seorang muslim saat memberikan pinjaman yang berarti kebutuhan sesaatnya untuk menggunakan uang tersebut tertunda, dia hanya mengharapkan pahala dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala dengan membantu orang yang dalam kesusahan.
Ini merupakan perbedaan mendasar ekonomi Islam. Di mana terdapat sisi ukhrawi dalam setiap transaksi yang dilakukan, bukan hanya sekedar mengharap imbalan materi.
Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa teori-teori yang diajukan oleh para ekonom Barat untuk melegalkan riba tidak berpijak kepada argumen yang kuat, dan semakin nyata keadilan agama Allah yang mengharamkan praktek riba.
Wallahu A’lam
Sumber :
Harta Haram Muamalat Kontenporer, Dr. Erwandi Tarmizi, MA. Penerbit : P.T. Berkat Mulia Insani, Bogor, Cetakan Keempat, April 2013, hal. 334-336.
Amar Abdullah bin Syakir