Mendidik anak supaya memiliki rasa malu itu sangat penting. Mengapa? sebab malu merupakan bagian dari iman. Ia adalah salah satu cabang iman, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Iman terdiri dari enam puluh sekian cabang. Dan malu merupakan salah satu cabang dari iman” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pada saat Nabi Muhammad –shalallalahu ‘alaihi wasallam– melihat seseorang memberi nasehat dan menegur saudaranya karena malu, beliau meyuruh orang ini untuk membiarkannya. Beliau bersabda, “Biarkanlah, sesungguhnya malu adalah sebagian dari iman (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Malu itu sendiri merupakan sifat yang tidak akan mendatangkan bahaya apapun. Bahkan ia adalah sifat yang justru hanya akan mendatangkan kebaikan. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda, “Malu tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– bersabda, “Malu itu seleuruhnya baik “ (HR. Muslim)
Bahkan Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam– sebagai panutan seluruh ummat adalah sosok yang sangat pemalu.
Abu Sa’id al-Khudri, seorang sahabat sahabat nabi yang mulia mengatakan, “Adalah Nabi-shalallahu ‘alaihi wasallam merupakan sosok yang lebih bersifat malu daripada gadis pingitan di dalam kamarnya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Apa yang dimaksud malu?
Tentu yang dimaksud malu di sini bukanlah minder. Sebab minder berasal dari mental rendah diri.
Malu merupakan akhlak terpuji, sedangkan minder merupakan akhlak tercela. Keduanya sama sekali berbeda dan merupakan dua kutub yang sangat berlawanan, meskipun seakan-akan mirip. Kalaupun minder boleh dikatakan, ”malu”, maka itu adalah ‘malu’ yang tidak pada tempatnya. Misalnya malu untuk melaksanakan kewajiban atau ‘malu’ untuk meninggalkan larangan, karena pandangan orang lain. Oleh kerenanya minder tidak selayaknya disandang oleh seorang muslim.
Malu yang bahasa Arabnya haya merupakan pecahan kata dari “haya” yang berarti hidup. Air hujan yang berkah juga disebut “haya” karena dengan sebab air hujan ini; bumi, tumbuh-tumbuhan dan hewan menjadi hidup. Demikian pula kehidupan dunia dan kehidupan akhirat disebut “hayat” (kehidupan) (Jawabul Kafi Liman Sa’ala ‘an ad-Dawa asy-Syafii, hal. 119)
Jadi, antara pengertian malu dan pengertian hidup dilihat dari sisi bahasa Arab memiliki kaitan yang erat. Itulah sebabnya imam ibnu al-Qoyyim mengatakan, “barangsiapa yang tidak memiliki rasa malu berarti ia (laksana) seorang mayit di dunia, danmerupakan orang yang bakal sengsara di akhirat“ (al-Jawab al-Kafi, 119)
Malu artinya merasa tidak enak dan merasa bersalah ketika tidak menaati ketentuan-ketentuan Allah azza wajalla baik yang menyangkut hak-hak Allah, hak-hak RasulNya maupun hak-hak makhluk.
Imam ibnu al-Qoyyim menjelaskan bahwa dosa-dosa akan melemahkan bahkan menyelenyapkan rasa malu pada diri seseorang hingga andaikata keburukan-keburukan dirinya diketahui orang banyak pun, ia tidak malu dan tidak terpengaruh. Sebab rasa malunya sudah hilang. Apabila seseorang sudah mencapai peringakat tidak malu seperti ini, maka menjadi sulit diharapkan kebaikannya (al-Jawab al-Kafi, 119)
Beliau menjelaskan bahwa akhlak malu merupakan kedudukan penting yang terkandung dalam pernyataan hamba ketika membaca, firmanNya, yang artinya, “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami minta pertolongan” (al-Fatihah: 5) (Madarij as-Salikin, 2/196)
Kadar hidup hati seseorang diukur dengan kadar akhlak malunya. Sedikit rasa malu yang ada pada diri seseorang, menunjukkan matinya hati dan matinya ruh orang tersebut. sebaliknya semakin hidup hati seseorang, semakin sempurna pula rasa malu yang dimilikinya (Madarij as-Salikin, 2/198)
Dengan demikian, menjadi sangat penting menanamkan akhlak malu pada diri anak-anak semenjak dini, sebelum terlanjur kehilangan rasa malu. Namun, orang tua wajib memulai pendidikan akhlak ini pada diri mereka sendiri terlebih dahulu.
Sebab betapa berbahayanya orang yang tidak memiliki rasa malu. Berbuat syirik tidak malu, berbuata bid’ah tidak malu, berbuat dosa tidak malu, menipu tidak malu, memakan hak orang lain tidak malu, pamer tidak malu dan seterusnya, akhirnya serba tidak malu, wal-iyadzubillah.
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– memberikan ancaman kepada orang yang tidak malu, untuk melakukan apa saja menurut kehendak hatinya. Tetapi tentu akibatnya adalah murka Allah. Beliau bersabda, “Sesungguhnya di antara yang dijumpai oleh manusia dari perkataan yang menjadi kesepakatan para nabi adalah (perkataan) ‘apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa saja sekehendak hatimu“ (HR. Al-Bukhari).
Wallahu a’lam
Amar Abdullah
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,