Memandang Positif

Siap menerima dan tidak bertele-tele dalam ucapan dan perbuatan sangat penting dalam berumah tangga. Sebab terkadang salah satu pihak memiliki akhlak, tabiat, penyakit, atau sesuatu yang kurang baik yang sulit dihindari, terutama saat keduanya telah memiliki keturunan.

Sikap yang benar dalam menghadapi ini semua adalah siap menerima, selama itu bukan kemaksiatan. Hendaknya ia dukung kepribadiannya semampu mungkin dalam bentuk dukungan apapun. Jangan mencela, menganggap rendah, mencibir, dan membicarakan kedudukan pasangan di hadapan orang lain, apapun kondisi dan alasannya. Di samping ia harus meluruskan dan mengobati apa yang mungkin dapat diluruskan dan diobati. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Qs. al-Hujurat : 11)

Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ

Janganlah seorang suami membenci istrinya, karena jika ia membenci satu tabiatnya, ia ridha dengan yang lainnya (Shahih Muslim)

Hadis ini menghimbau seorang mukmin agar tidak membenci istri, dan fokus kepada sifat-sifat positif istri, meskipun ada sisi negatifnya. Istri juga diperintahkan dengan hadis ini, dia harus selalu menfokuskan diri dengan sifat-sifat positif suami, terutama saat terjadi kesalahpahaman. Dia tidak boleh menafikan semua kebaikan suami hanya karena marah kepadanya, supaya ia tidak terkena hadis ‘mengkufuri kebaikan suami’.

Secara umum, ini ditunjukkan kepada pasangan suami istri yang telah memiliki keturunan; pisah ranjang, mencela, banyak menggerutu, mengeluh, dan merendahkan posisi pasangan akan berdampak secara kejiwaan dan tabiat bagi anak-anak. Di sisi lain, ini juga termasuk maksiat kepada Allah ta’ala.

Wallahu A’lam

Sumber :

Dinukil dari “ Tis’un Wa Tis’una Fikrah li Hayah Zaujiyah Sa’idah”, karya : Dr. Musyabbab bin Fahd al-Ashimi (ei, hal. 141)

Amar Abdullah bin Syakir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *