Marah Dalam Islam

‘Marah’ adalah fitrah bagi manusia, tidak ada dari kita yang tidak pernah mengalami marah, karena ia memang fitrah yang Allah ta’ala titipkan pada jiwa manusia. Dan marah bermacam-macam tergantung pada sebab yang memicu timbulnya kemarahan tersebut. Dampak dari kemarahanpun bisa positif atau negatif tergantung dari tepat atau tidak tepatnya tersalurnya kemarahan tersebut.

Seringkali kemarahan yang tidak pada tempatnya atau melebihi kadar yang semestinya memicu konflik yang lebih parah dari pada sebelumnya dan hanya akan menghasilkan penyesalan. Ketika istri melakukan suatu kesalahan lalu dimarahi dengan kemarahan yang melebihi dari kadar kesalahan yang dibuatnya, ia berpotensi untuk mencari naungan lain yang dapat melindunginya dan mendengarkan keluh kesahnya, sehingga yang seharusnya istri merasa bersalah justru berbalik mencari cara untuk membela diri dikarenakan kemarahan suami yang berlebihan.

Begitu juga ketika anak berbuat salah lalu dimarahi melebihi dari kadar kesalahannya, ia secara otomatis dapat mempengaruhi psikis anak untuk menyembunyikan kesalahan dari orang tua ,bahkan ia dapat mengambil cara berbohong untuk menutupi kesalahannya, yang pada ujungnya justru akan menimbulkan penyesalan bagi orang tua.

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memuji orang yang biasa mengendalikan amarahnya dengan bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Orang kuat (yang sebenarnya) bukanlah yang selalu mengalahkan lawannya dalam pergulatan (perkelahian), akan tetapi orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” [HR. Bukhari& Muslim]

Syariat memandang ‘marah’ dengan pandangan yang netral, tidak melarangnya secara mutlak karena itu fitrah yang Allah berikan kepada manusia, namun juga memberikannya batasan sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seringkali memerintahkan untuk menahan amarah, dan terkadang marah justru diperintahkan. Seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Berilah aku wasiat!” Nabi bersabda, “Janganlah engkau marah.!” Maka beliau mengulang-ulang (perkataan) “Janganlah engkau marah.!” (HR. Bukhari).

Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita cara untuk meredakan amarah dengan bersabda:

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya diaduduk, kalau kemarahannya belum hilang maka hendaknya dia berbaring.”[HR. Dawud& Ahmad].

Terkadang marah justru diperintahkan dengan tujuan tertentu namun tanpa melampaui batas. Seperti marah untuk mendidik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya jikalau ia meninggalkan sholat sedang umurnya sudah sepuluh tahun. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda;

.”مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع واضربوهم عليها وهم أبناء عشر، وفرقوا بينهم في المضاجع”

Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila tidak mengerjakan shalat pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”(HR. Abu Dawud)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya yang sudah berumur sepuluh tahun jika mereka meninggalkan shalat. Dan tentunya memukul lebih dari sekedar marah, tetapi dalam rangka mendidik anak, orang tua diperintahkan untuk memukul dengan pukulan yang mendidik yang tidak mencederai.

Lalu bagaimana dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Pernahkah beliau marah? Seperti apa marah beliau? Apa hal-hal yang dapat membuat beliau marah?

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَرْضَى كَمَا يَرْضَى الْبَشَرُ وَأَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ

Aku ini hanya manusia biasa. Aku bias senang sebagaimana manusia senang, dan aku bias marah sebagai mana manusia marah.” [HR. Muslim].
Tapi marah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidaklah sama dengan marah kita, marah beliau bukan untuk diri beliau sendiri tetapi untuk Allah subahanhu wata’ala. Sayyidah Aisyah radhiyallahu’anha berkata:

مَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ حَتَّى يُنْتَهَكَ مِنْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tak pernah marah terhadap seseorang untuk dirinya sendiri karena suatu kasus yang berkaitan pribadinya, tetapi jika kehormatan Allah dilecehkan, maka beliau marah karena Allah.”[HR. Bukhari No.6347].

Dari perkataan Sayyidah Aisyah ini jelas bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling mampu untuk mengendalikan nafsu dan amarahnya, sehingga beliau tidak marah dalam masalah perkara pribadi beliau, dan marah ketika perintah Allah dilanggar.

Dalam suatu peperangan seorang sahabat yang bernama Usamah bin Zaid bin Haritsah radhiyallahu ’anhuma mengejar seorang musyrik, ketika sampai kepadanya dan orang musyrik tersebut tak bias melepaskan diri dari Usamah, ia mengucapkan kalimat syahadat, namun Usamah tetap membunuhnya karena menurutnya orang tersebut mengucapkan syahadat karena takut dibunuh.

Ketika kembali dari peperangan Usamah menceritakan perihal yang dialaminya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka Rasulullah marah dan berkata, “apakah engkau masih membunuhnya setelah ia mengucapkan ‘laailaahaillallah’ ?? Usamah menjawab, “dia mengucapkannya agar tidak dibunuh.”Rasul menjawab, “apa kamu sudah belah dadanya sehingga engkau tahu isihatinya??”

Inilah salah satu contoh Rasulullah ketika marah, beliau hanya marah ketika perintah Allah dilanggar dan tidak marah dalam masalah peribadi beliau. Betapa sering kaum musyrikin memperolok-olok beliau dengan sebutan-sebutan keji yang tidak pantas dilontarkan kepada sosok seseorang seperti beliau. Mereka mengolok beliau dengan sebutan gila, tukangsihir, dukun dan lain sebagainya namun beliau tidak marah.

Kesimpulannya marah adalah suatu fitrah yang wajar, namun alangkah baiknya jikalau seseorang bisa mengendalikan dirinya ketika marah agar tidak menyesal dikemudian waktu. Syariat pun memaklumi timbulnya marah dari seseorang, namun syariat memerintahkan kita untuk menahan amarah. Rasulullah adalah teladan bagi kita dimana beliau tidak marah kecuali jika perintah Allah dilanggar.

Wallahua’lam.

Penulis Arinal Haq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *