Malu Dan Amar Makruf Nahi Munkar

Sesungguhnya  di  antara  sifat  terpuji  yang  diseru  oleh  syara’  adalah  sifat malu.  Allah  Ta’ala  berfirman  tentang  Nabi  Musa  alaihis  salam  pada  saat  beliau membantu memberikan minum bagi kedua orang wanita:

فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا ۚ فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ ۖ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Kemudian  datanglah  kepada  Musa  salah  seorang  dari  kedua  wanita  itu berjalan  kemalu-maluan,  ia  berkata:  “Sesungguhnya  bapakku  memanggil  kamu agar  ia  memberikan  balasan  terhadap  (kebaikan)mu  memberi  minum  (ternak) kami“. QS. Al-Qoshos: 25

Dari  sa’id  bin  Zaid  Radhiyallahu ‘anhu  bahwa  seorang  lelaki  berkata:  Wahai  Rasulullah  berilah aku wasiat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku berwasiat kepadamu agar kamu malu kepada  Allah  sebagaimana  engkau   malu  kepada  seorang  lelaki  shaleh  dari kaummu”.( Al-Zuhd, Imam Ahmad hal: 46 dan Al-Syu’ab karangan Al-Baihaqi : 6/145-146 no: 7738)

Jadi hadits  ini  sebagai  dalil  yang  menunjukkan  bahwa  malu  sebagai  perisai  bagi seseorang  dari  tindakan  yang  bisa  memudharatkannya pada  agamanya  atau merusak  akhlak  dan  marwahnya,  sebab  jika  seseorang  terlepas  dari  sifat  malu ini maka dia tidak akan menghiraukan apapun keburukan yang dilakukannya.

Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata: Dan akhlak malu ini termasuk akhlak yang paling  baik  mulia,  agung.  lebih  banyak  manfaatnya,  sifat  ini  merupakan  sifat khusus  bagi  kemanusiaan,  maka  orang  yang  tidak  memiliki  rasa  malu  berarti tidak  ada  bagi  dirinya  sifat  kemanusiaan  kecuali  dagingnya,  darahnya  dan bentuk  fisiknya.  Selain  itu,  dia  tidak  memiliki  kebaikan  apapun,  dan  kalaulah bukan  karena  sifat  ini,  yaitu  rasa  malu  maka  tamu  tidak  akan  dihormati,  janji tidak  ditepati,  amanah  tidak  ditunaikan  dan  kebutuhan  seseorang  tidak  akan pernah  terpenuhi,  serta  seseorang  tidak  akan  berusaha  mencari  sifat-sifat  yang baik untuk dikerjakan dan sifat-sifat yang buruk untuk dijauhi, aurat tidak akan ditutup dan seseorang tidak akan tercegah dari perbuatan mesum, sebab faktor utama  yang  mendorong  seseorang  melakukan  hal  ini  baik  faktor  agama,  yaitu dengan  mengharapkan  balasan  dan  akibat  yang  baik  (dari  sifat  yang  mulia  ini) atau  faktor  duniawi  yaitu  perasaan  malu  orang  yang melakukan  keburukan terhadap  sesama  makhluk.  Sungguh  telah  jelas  bahwa kalaulah  bukan  karena rasa malu terhadap Allah, Al-Khalik dan sesama makhluk maka pelakunya maka kebaikan  tidak  akan  pernah  tersentuh  dan  keburukan tidak  akan  pernah dijauhi…..dan setererusnya”. (Diringkas dari kitab darus sa’adah, Ibnul Qoyyim halaman: 277 di ambil dari  kitab: Nudhratun Na’im: 5/1802)

 

Namun ada yang perlu digarisbawahi yaitu meninggalkan  amar  ma’ruf nahi mungkar tidak termasuk bagian dari sifat malu. Allah Ta’ala berfirman:

وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ ۚ

dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. QS. Al-Ahzab: 53

 

Dan  Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas  menganjurkan   amar  ma’ruf  nahi  mungkar  dan memerintahkan untuk merubahnya.

Dari Abi Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:   “Barangsiapa   di   antara   kalian   yang   melihat   kemungkaran   maka hendakalah dia merubahnya dengan tangannya, dan jika dia tidak mampu maka hendaklah dia  merubahnya dengan lisannya dan apabila dia tidak  mampu  maka hendaklah    dia    merubahnya    dengan    hatinya    dan    itulah selemah-lemah keimanan”. (shahih Muslim: 1/69 no: 49)

Dan sebagai penuutup, perkataan berikut layak dijadikan pedoman kita dalam mengendalikan sifat malu ini:

Imam  Nawawi  berkata:  Terkadang  orang  merasa  bingung,  di  mana  seseorang yang  pemalu  merasa  malu  mengarahkan  orang  yang  dihormatinya  kepada kebenaran,  sehingga  akhirnya  dia  meninggalkan  amar  ma’ruf  nahi  mungkar, terkadang rasa malu membawanya untuk meninggalkan beberapa haknya. Maka jawaban  terhadap  perkara  ini  adalah  apa  yang  telah diungkapkan  oleh  para ulama, seperti  Abu Amr bin Ashalah bahwa perkara ini tidak termasuk di dalam kategori malu, bahkan dia termasuk kelemahan dan kehinaan serta kehancuran. Sebab   malu   yang   sebenarnya   adalah   sebuah   sifat   baik   yang   mendorong seseorang   meninggalkan   perbuatan   buruk   dan   mencegah   seseorang   dari melalaikan hak orang lain”. (Syarah shahih Muslim: 1/5-6)

 

Diringkasi dari tulisan Syaikh Amin bin Abdullah As Syaqawi yang berjudul Al Haya’.

Sumber: https://islamhouse.com/id/articles/249561/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *