“Lokalisasi”, Ide Penghalalan Zina

Munculnya banyak kasus penyimpangan seksual yang merebak di tengah-tengah mesyarakat kita berupa, “pelampiasan hasrat biologis kepada pasangan di luar pernikahan”, menjadi sebagian kalangan menelorkan ide dan gagasan yang mereka istilahkan dengan, “lokalisasi”, yaitu penyediaan tempat tertentu yang diperuntukkan bagi mereka yang berhasrat untuk melampiaskan hasrat biologisnya kepada seorang yang berlainan jenis dengan dirinya yang bukan merupakan pasangan hidupnya yang sah (yang diikat dengan tali pernikahan).

Sebagian orang berpandangan bahwa ini merupakan salah satu solusi agar hal itu tidak semakin meluas di tengah-tengah masyarakat. Ada juga yang berpandangan lebih ekstrim dari hal ini yakni, “lokalisasi itu penting” sebagai wujud penghormatan terhadap keinginan sebagian orang dalam hal menyalurkan hasrat biologis yang mana hal tersebut merupakan bagian dari kebutuhan setiap individu. Maka, dengan menyediakan tempat khusus bagi mereka, mereka akan terbantu dalam upaya menyalurkan hasrat biologisnya tersebut. Dengan demikian terpenuhilah sebagian dari kebutuhan dirinya yang asasi.

Pandangan pertama, secara zhahir bisa kita tangkap, maksud dan tujuannya baik.

Namun, hakikat dari ide ini sesungguhnya bertentangan dengan pokok ajaran Islam, karena hakikat lokalisasi itu tidak lebih dari, “melegalkan praktek perzinaan”, dan “membantu orang yang berkeinginan untuk menyalurkan hasrat biologis secara haram”. Hakikat inilah yang barang kali saja luput dari otak pencetus ide ini beserta para pendukungnya. Hakikat dari ide ini mempersilahkan untuk melakukan perzinaan. Seakan diiklankan, “Jika Anda ingin berzina silakan datang ke tempat ini dan ini, di sana terdapat orang-orang yang siap melayani Anda dan memuaskan nafsu birahi Anda”.

Pandangan kedua, sepintas mungkin sebagian orang menilai pandangan ini juga baik, kan membiarkan orang untuk memenuhi kebutuhannya yang asasi.

Masa kita melarang orang untuk memenuhi kebutuhan asasi mereka? Masa kita tidak membantunya untuk memenuhi kebutuhan asasi mereka? Mungkin sederet pernyataan-pertanyaan ini dan yang semakna dengannya yang muncul dari sebagian orang. Ooo… begini -pembaca yang budiman- kita tidak mengingkari bahwa kebutuhan biologis merupakan bagian dari kebutuhan yang bersifat asasi. Setiap individu berhak untuk memenuhinya. Namun, ingat ada aturan mainnya, tidak seenaknya sendiri. Pencipta kita telah mengaturnya dalam sebuah bingkai yang baik dengan maksud tercapainya kebahagiaan hidup, tak adanya kezhaliman, di dapatkannya keturunan dan sebagainya. Bingkai itu adalah pernikahan. Itulah yang dibolehkan. Dengan demikian, nampaklah bahwa pandang kedua ini menunjukkan kebodohan atau masa bodohnya diri orang yang memiliki gagasan ini terhadap aturan halal dan haram yang telah ditetapkan oleh pencipta dirinya, yaitu Allah ta’ala. Pantas saja, dirinya saja tidak mengenal rabbnya, yang menciptakannya, yang memberikan rizki kepadanya, yang mengatur alam semesta termasuk dirinya, bagimana ia akan tahu aturan halal dan haram yang telah ditentukanNya bagaimana pula dirinya akan peduli terhadap maslah ini. Ini berarti, hakikat pandangan yang kedua ini adalah, “penghalalan sesuatu yang diharamkan”.

Dengan demikian jelaslah bahwa, kedua pandangan di atas menyelisihi aturan Allah ta’ala, rabb alam semesta. Dari dua sisi, pertama; membantu orang lain untuk melakukan perkara yang diharamkan dan kedua; menghalalkan sesuatu yang diharamkan. Maka, kedua pandangan tersebut adalah pandang yang batil yang wajib untuk ditolak oleh seorang muslim.

Bekerjasama atau memberikan pertolongan atau bantuan kepada orang untuk melakukan perkara yang diharamkan adalah terlarang. Allah ta’ala menegaskan,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah : 2)

Begitupun halnya dengan menghalalkan sesuatu yang diharamkan. Hal ini juga terlarang dalam syariat Islam yang mulia. Berzina, itu terlarang. Secara gamblang Allah berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra ‘ : 32 ). Maka ketika dikatakan, silakan berzina berarti ia menghalalkan sesutu yang terlarang. Ini jelas tindakan menyelisihi syariat Allah ta’ala. Wallahu a’lam.

Shalawat dan salam semoga tercurah atas nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.

Penulis : Amar Abdullah bin Syakir

Artikel : www.hisbah.net

Gabung Juga Menjadi Fans Kami Di Facebook Hisbah.net

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *