Manakala kita berselisih, kita patut berusaha menyelesaikannya di antara kita, lalu bila memang harus meminta penengah kepada orang ketiga dan meminta sarannya, maka hendaknya kita memilih orang yang beragama, berilmu dan berakal, karena bila suami atau istri meminta pendapat sembarang orang, maka biasanya dia malah membuat benang masalah semakin kusut, persoalannya semakin melebar, orang-orang pun mengetahuinya, keduanya tidak menemukan solusi dari persoalan mereka. Kriteria agama semata tidak cukup bagi seseorang untuk dimintai nasehatnya, dan sangat disayangkan bila sebuah nasehat dimintakan kepada orang-orang di mana mereka hanya sekedar teman, atau kerabat, atau penulis di perkumpulan ini dan itu.
Hari ini, alhamdulillah, sudah banyak pusat-pusat penyuluhan sosial yang bisa dimintai bantuannya setelah Allah.
Ada sisi lain yang patut diperhatikan, bahwa berbicara kepada orang yang tidak bisa diharapkan memberikan solusi, atau nasehat, atau saran yang tepat oleh suami atau istri mengenai pasangannya, bisa masuk ke dalam ghibah yang diharamkan. Hendaknya diwaspadai.
Iklan
Betapa indahnya sebuah rumah yang terjaga aman problemnya di ruang lingkup temboknya. Bila penghuni rumah memang perlu meminta bantuan kepada pihak ketiga sesudah Allah, maka hendaknya orang tersebut adalah orang yang dipercaya akal dan agamanya.
Aku tidak menganjurkan untuk membiarkan masalah di dalam rumah, kecuali bila suami-istri berharap dan berusaha bisa menyelesaikannya di anatara mereka berdua. Adapun bila keduanya atau salah satu dari keduanya melihat bahwa masalah semakin meruncing, maka sangat perlu meminta bantuan pihak lain mendamaikan.
**
Al-A’masy pernah berselisih dengan istrinya, lalu dia meminta temannya untuk membujuk istrinya dan mendamaikan keduanya, maka si teman datang dan berkata kepada istri al-A’masy, “Sesungguhnya Abu Muhammad (al-A’masy) adalah laki-laki tua, jangan membencinya hanya karena kedua matanya rabun, kedua kakinya ringkih, kedua lututnya lemah, kedua ketiaknya bau, kedua tangannya kaku, dan mulutnya yang tidak sedap.” Maka al-A’masy menghardiknya, “Pergilah, semoga Allah memburukkanmu, kamu malah hanya membuka aib-aibku yang tidak dia ketahui sebelumnya.”
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’adah Maharat wa Wasa’il, Abdurrahman al-Qar’awi, ei, hal. 79-80