(Kisah Jauhnya Mereka dari Berzina)
Dulu sebelum ada minyak, mata pencaharian penduduk Kuwait adalah bekerja di laut, baik itu menyelam atau berniaga dengan mengarungi laut. Sudah dikenal di timur dan barat bahwa penduduk Kuwait adalah orang-orang yang amanah, memelihara kehormatan diri dan jujur.
Agar kami bisa membuktikan kata-kata ini maka kami mengajak pembaca kembali ke zaman penuh berkah tersebut. Zaman miskin, tetapi kaya di bidang amanah dan kesucian hati. Sebagian saudagar Kuwait berangkat dalam sebuah perjalanan niaga ke Mozambik. Nahkoda perjalanan ini adalah Haji Isa al-Utsman.
Sang nahkoda berkisah,
“Kami tiba di Mozambik, kami diterima sebagai tamu pada seorang laki-laki Oman yang tinggal di sana. Dia tinggal di sana sebagai duta untuk Inggris yang menangani urusan-urusan perdagangan di sana, seperti ekspor impor teh, gula, kayu dan lainnya. Kami tinggal padanya beberapa hari.
Saat kami hendak pulang, laki-laki Oman berkata kepadaku, ‘Nahkoda Isa,aku punya amanat yang ingin aku kirimkan ke Muskat.
Aku menjawab, ‘Apa amanat tersebut?’
Dia menjawab,’Saudara perempuanku. Dia datang dari Muskat ke sini beberapa bulan yang lalu, dia tinggal bersamaku, dan saat ini dia ingin pulang ke Oman.’
Aku menjawab, ‘Amanat yang sangat berat, seperti memikul gunung. Bagaimana sementara aku mengepalai 50 orang pelaut, perjalananku ke sana memakan waktu kurang lebih sebulan. Maaf aku tidak mampu.’
Dia berkata, ‘Demi Allah, aku sudah menimbang masak-masak, aku tidak mendapatkan orang yang aku merasa tenang menyerahkan amanatku ini kepadanya kecuali kalian wahai orang-orang Kuwait.’
Aku menjawab, ‘Boleh aku tahu alasannya. Mengapa engkau sebegitu yakin dan percaya kepada kami ?’
Dia menjawab, ‘Kalian memiliki kepribadian yang baik, yang bersumber dari agama kalian. Agama itulah yang menjaga kalian sehingga kalian tidak berbuat mungkar.’
Aku berkata sambil menepukkan salah satu tanganku ke lainnya, ‘Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah’.” Nahkoda itu bertawakkal kepada Allah.
Dia menulis surat kesepahaman yang isinya tentang nama gadis tersebut dan umurnya, dan bahwa dia adalah gadis perawan. Nahkoda itu menorehkan tanda tangan, demikian juga laki-laki Oman itu. Tak lupa para saksi ikut bertanda tangan.
Tak lama setelah itu, kapal laut bergerak membawa orang-orang Kuwait menuju negeri mereka. Mereka singgah di Muskat dan mengantarkan gadis tersebut ke keluarganya di sana.
Sepanjang perjalanan, atap mereka adalah langit dan bumi mereka adalah laut. Terjadilah apa yang diduga oleh laki-laki Oman, yaitu sikap memelihara kesucian diri dan amanah orang-orang Kuwait. Nahkoda Utsman berkata tentang awak kapalnya, bahwa tidak seorang pun dari mereka yang mendekat ke tempat di mana gadis tersebut berada. Bila seorang dari mereka memerlukan sesuatu yang penting yang ada di sana, maka mereka menemui nahkoda. Mereka meminta sang nahkoda mengambil apa yang mereka butuhkan yang ada di dekat gadis. Gadis itu berada di salah satu sudut kapal. Saat awak kapal harus lewat, dia lewat sejauh mungkin dari si gadis dan meletakkan telapak tangannya di wajahnya agar tidak melihat si gadis. Hingga akhirnya tibalah kapal mereka di Muskat. Mereka menyerahkannya kepada keluarganya. Sebuah amanat yang sangat berat. Mereka menandatangani surat penyerahan, begitu juga saksi-saksinya.
Nahkoda Utsman berkata, “Setelah aku menyerahkannya kepada keluarganya, seolah-olah gunung diangkat dari punggungku.”
Para awak kapal yang laki-laki, seorang gadis di tengah-tengah mereka selama sebulan penuh. Mereka sama sekali tidak melihat kepadanya, tidak dengan kebaikan, tidak pula dengan keburukan, apalagi berbicara dengannya dengan keburukan atau mengganggunya.
Betapa mulia para leluhur kita tersebut, yang agama mengajari mereka tentang sikap memelihara kesucian diri, amanah dan menundukkan pandangan. Semoga Allah menjadikan kita semuanya, anak-anak yang meniti jalan hidup para leluhur kita dalam segala sifat-sifat kebaikan. Aamiin
Kisah nyata di atas, yang terjadi pada orang-orang Kuwait ini, mengingatkan saya pada sebuah kejadian di zaman manusia terbaik, Muhammad bin Abdullah-صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – . Saat Muqaiqis menghadiahi Rasulullah-صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – seorang tabib, seekor keledai dan seorang hamba sahaya, Mariyah al-Qibtiyah, yang mana menjadi Ummul Mukminin setelah Rasulullah -صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – yang mulia menikahinya.
Tahukah kalian para pembaca yang budiman, bagaimana Mariyah-رضي الله عنها – – masuk islam ?
Dia berkisah,
“Aku berangkat dari Mesir ke Madinah Munawwarah dengan berjalan kaki.” Sebuah perjalanan yang panjang. Dalam perjalanan, dia bersama beberapa orang sahabat. Mereka adalah orang-orang yang Rasulullah -صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – kirim kepada al-Muqaiqis. Para sahabat meminta Mariyah berjalan di belakang mereka. Mariyah berkata, “Tak seorang pun dari mereka melihatku dengan pandangan yang mencurigakan … pandangan syahwat-para sahabat memang tidak mungkin berbuat demikian-. Mereka benar-benar menjagaku lebih dari saudara-saudaraku menjagaku. Maka aku sadar bahwa sebuah agama yang mengajari amanat dan memelihara kesucian diri seperti ini adalah agama akhlak dan agama yang benar. Maka aku pun masuk islam.”
Semoga Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى -meridhai para sahabat, dan semoga Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – merahmati para leluhur kita dari orang-orang Kuwait, orang-orang yang senantiasa memelihara kesucian diri dan kebersihan hati.
Amin
Sumber :
Dinukil dari, “Shuwarun Min al-‘Iffah”, Muhammad bin Abdurrahman al-Ajmi, ei, hal. 57-62
Amar Abdullah bin Syakir
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor