Diriwayatkan dari Mahmud bin Labid –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata : Suatu ketika Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-keluar lalu berkata :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَشِرْكَ السَّرَائِرِ
Wahai sekalian manusia, jauhilah syirik saraa-ir (syarik tersembunyi) !
Orang-orang bertanya : “Wahai Rasulullah, apa itu syirik saraa-ir ?
Jawab beliau :
يَقُوْمُ الرَّجُلُ فَيُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ جَاهِلًا لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ النَّاسِ إِلَيْهِ فَذَلِكَ شِرْكُ السَّرَائِرِ
Seorang lelaki bangkit mengerjakan shalat lalu karena jahilnya ia membaguskan shalatnya karena tahu orang-orang sedang melihatnya. Itulah syirik saraa-ir [1]
Kandungan Bab :
- Bahaya riya sangatlah besar dan kerusakannya juga sangat hebat, kami telah mengulas tentang masalah ini dalam kitab al-Iimaan wat Tauhid dalam sebuah bab tentang haaramnya riya’. Dan kami juga telah menerangkan dampak buruk yang dihasilkannya terhadap umat dalam sebuah buku tersendiri.
- Di antara madharatnya ialah riya dapat menulari seluruh amal hamba, di antaranya adalah shalat. Orang yang riya membagus-baguskan shalatnya apabila orang lain melihat kepadanya. Akan tetapi bila ia mengerjakannya sendirian, maka keadaannya persis seperti yang Allah kisahkan dalam firman-Nya,
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا [النساء : 142]
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali (Qs. an-Nisa : 142)
- Shalat yang riya batil dan tidak diterima di sisi Allah –سُبْحُانَهُ وَتَعَالَى-berdasarkan hadis Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda, Allah–سُبْحُانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، فَمَنْ عَمِلَ عَمَلا أَشْرَكَ فِيهِ غَيْرِي فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ
Aku Rabb yang tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa mengerjakan amalan sedang ia menyekutukan-Ku dengan yang lain dalam amalan itu, maka Aku berlepas diri darinya dan amal itu untuk sekutunya tersebut (Shahih Targhib Wat Tarhib (31))
Wallahu A’lam
Sumber :
Mausu’ah al-Manahiy asy-Syar’iyyah Fi Shahihi as-Sunnah an-Nabawiyyah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, e,i. jilid 1, hal.506-507
Amar Abdullah
[1] Hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaemah (937) dan al-Baihaqi (II/290-291), akan tetapi ia menjelaskan, bahwasanya hadis ini berasal dari riwayat Mahmud bin Labid, dari Jabir bin Abdillah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-.
Mahmud bin Labid adalah seorang sahabat shaghir yang kebanyakan riwayatnya berasal dari sahabat lain, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafizh. Namun hal itu tidaklah melemahkan hadisnya, mursalnya shahabat dapat dijadikan hujjah, karena mereka semuanya tsiqah (kredibel)
Hadis ini dihasankan oleh guru kami Syaikh Muhammad Nashiruddin dalam Shahihut targhib wat Tarhib (28)
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor