Syaikh al-Manfaluthi rahimahullah berkata:
Seorang pemuda tampan serta mapan ekonomi dan status sosialnya pergi ke negeri Eropa untuk suatu keperluan dan tinggal di sana untuk beberapa tahun, kemudian kembali ke tanah airnya akan tetapi keadaan dirinya sudah tidak lagi seperti yang kita kenal dulu.
Pergi dengan wajah berseri-seri laksana wajah sanggadis dan kembali dengan wajah kusam bagaikan batu licin diterpa air hujan yang deras. Pergi dengan hati bersih nan suci penuh belas kasih dan pemaaf namun kembali dengan hati beringas yang hampir semua penghuni bumi menaruh rasa benci dan penghuni langit memandang penuh dengan kemurkaan. Pergi dengan jiwa yang khusyuk penuh dengan ketundukan yang membuat kagum setiap insan yang memandang namun kembali dengan jiwa liar, ganas, garang dan tidak bersahabat.
Pergi membawa kepala yang penuh dengan hikmah dan pemikiran cemerlang namun kembali dengan kepala kapsul yang hanya berisikan hawa keraguan dan syubhat, dan pergi sebagai seorang yang akrab dan mengakar dengan mutiara agama dan nilai kebangsaan namun kembali sebagai sosok yang paling memuakkan mata bagi penganut agama dan bangsa.
Pada awalnya saya menyangka bahwa sosok aneh yang ditampilkan oleh para pemuda yang datang dari seberang Eropa kembali ke negeri mereka hanya sekedar tren sesaat belaka. Setelah matahari muncul dari timur keesokan hari maka berangsur ia akan kembali kepada budaya ketimurannya dan kepada nilai mulia yang telah hilang berhamburan mengudara ke atas langit.
Saya mengira kepribadiannya dan budaya baratnya hanya laksana wajah dengan kaca hias yang bila sosok tubuh beranjak pindah dari kaca maka pantulan tubuhnya akan lenyap.
Saya belum mempunyai niat untuk melepas tali persahabatan dengan teman saya itu. Saya masih tetap setia demi memenuhi ikatan janji yang kami ikrarkan dahulu dan harapan pada masa mendatang sambil bersabar menahan diri dari kecerobohan, bisikan jahat dan rusaknya pemikiran serta anehnya pemahaman yang tampak pada pribadinya sekarang, mungkin saja semua orang seperti saya tidak akan betah bersanding dengannya.
Hingga pada suatu malam saya sangat terkejut dengan bencana dan musibah besar yang membuat putusnya tali persahabatan dan ikatan janji setia kami.
Pada malam itu saya menemukan dirinya dalam keadaan pucat masam wajahnya dan sangat gundah pikirannya. Ucapan salamku hanya dibalasdengan isyarat tangannya saja, maka saya bertanya, “Ada apa dengan dirimu?” Dia menjawab, “Sejak malam ini wanita itu menjadi beban pikiranku dan hingga sekarang aku belum menemukan solusinya dan aku tidak tahu akhir dari masalah yang aku hadapi ini.” Saya berkata, “Wanita mana yang kamu maksud?” Ia berkata, “Dia adalah wanita yang orang banyak menyebutnya sebagai isteriku yang menurutku tidak lain hanya sebagai batu besar penghalang dalam mewujudkan angan-angan dan keinginanku!” Saya berkata, “Engkau banyak angan-angan, wahai tuanku, apa sih sebenarnya angan-angan yang engkau bicarakan?” Ia berkata, “Cita-cita dalam hidupku hanya satu yaitu aku memejamkan mata dan setelah membuka kedua mataku,aku sudah tidak melihat lagi cadar bertengger di wajah setiap wanita di negeriini.” Saya berkata, “Kamu tidak akan mampu mewujudkan cita-cita itu dan saya tidak setuju dengan pemikiran itu. Ia berkata, “Kebanyakan orang sependapat dengan ideku ini dan berangan-angan seperti angan-anganku, mereka ingin antara wanita dan laki-laki bebas duduk-duduk dan bercengkerama seperti kaum wanita bebas bersenda-gurau dengan sesamanya.
Bukan sikap lemah, serba tanggung dan kurang percaya diri, dimana semua kebiasaan seperti itu masih dipertahankan oleh bangsa timur tatkala ingin melangkah kepada suatu hal yang baru.”
“Aku yakin bahwa akulah orang pertama yang bisa merobohkan bangunan kuno yang membelenggu kebahagiaan dan menghambat kemajuan umat bertahun-tahun lamanya di negeri ini. Semoga saja aku bisa melakukan perombakan yang belum pernah dilakukan oleh para perintis kebebasan dan para pendukungnya.
Gagasan ini telah aku tawarkan kepada isteriku ternyata gagasan ini dianggap berbahaya dan terkutuk. Bahkan seakan aku membawa petaka besar dan bencana hebat. Ia beranggapan bila dirinya berbaur dengan kaum laki-laki maka ia akan merasa malu dan gelisah untuk berbaur kembali dengan kaum wanita.”
“Menurutku itu bukanlah sikap malu dan gelisah yang terpuji tetapi itu suatu langkah rendah diri, statis dan membunuh kreativitas serta kehinaan yang ditimpakan Allah kepada kaum wanita di negeri ini. Mereka hidup dalam kuburan gelap cadar dan jilbab yang menghasung kebebasan mereka hingga datang kematian, akhirnya mereka pindah dari kuburan dunia kepada kuburan akhirat.
Maka bagi diriku yang terpenting dalam hidupku hanyalah mewujudkan cita-cita luhur ini dan aku harus mampu membelah kepala yang keras dan membatu hingga berakhir dengan dua pilihan antara pecah berantakan atau sembuh secara total.”
Semua pembicaraan dan gagasannya membuat dadaku sesak yang disertai rasa jengkel dan gundah bercampur gelisah tetapi aku masih memandangnya dengan penuh kasihan dan aku berkata kepadanya, “Apakah engkau sudah paham atas apa yang engkau katakan wahai temanku?”
Ia berkata, “Ya, aku telah mengatakan sesuatu hakekat kebenaran yang sudah menjadi keyakinan dan ajaran bagiku dan juga menjadi keyakinan dirimu dan kebanyakan orang.” Saya berkata, “Bolehkah aku berbicara tentang sesuatu kepadamu, kamu telah lama tin16ggal di negeri asing yang tidak kenal hijab dan pembatas antara kaum laki-laki dan perempuan.
Apakah kamu masih ingat pada suatu hari nuranimu membisikkan sesuatu dan berbicara kepada dirimu bahwa kamu pernah berharap dengan sangat pada sesuatu dimana tangan kanan tidak mampu meraihnya yang berkaitan dengan harga diri wanita, ternyata harapan itu terpenuhi sebagian,sementara pemiliknya tidak merasakan?”
Bersambung …
Sumber :
Dinukil dari buku berjudul “Kisah Nyata Tentang Hijab”, Musthafa Luthfi al-Manfaluthi Amar Abdullah bin Syakir