KISAH IBU YANG MEMBAKAR UANG ANAKNYA
Di kota Riyadh, Saudi Arabia, ada seorang janda yang memiliki dua anak laki-laki yang bekerja sebagai sopir taksi. Dua pemuda tersebut sangat berbakti kepada ibunya. Mereka menabung untuk membayar kontrak apartemen yang harga sewa pertahunnya mencapai 24 rIbu real atau sekitar 80 juta rupiah (th 2020).
Keduanya dengan susah payah menabung, sampai terkumpul uang sebesar sepuluh ribu real (sekitar tiga puluh delapan juta rupiah). Uang tersebut mereka ikat dengan karet, lalu mereka masukkan kedalam plastik, setelah itu direkatkan dengan lakban hingga benar-benar rapat dan tertutup, kemudian bungkusan uang tersebut disimpan di bawah bantal kamar mereka berdua.
Ketika keduanya pergi bekerja, si Ibu merapikan kamar anaknya. Tanpa sengaja beliau menemukan bungkusan tadi di bawah bantal. Ia terkejut, wajahnya langsung memerah dan alisnya mengerut.
“Baru beberapa hari lalu aku marah kepada mereka karena ketahuan main kartu di kamar! Hmm… Ini dia benda yang sudah membuat anak-anakku lalai!” Gumamnya. Dengan kesal ia menggenggam erat bungkusan yang disangka kartu domino.
Meskipun tanpa uang dan bukan judi, tapi bermain kartu itu melalaikan waktu dan termasuk permainan yang kurang terpuji.
Masih banyak permainan lain yang lebih baik.
Ketika anak yang bungsu pulang ke rumah, langsung saja Ibunya menumpahkan amarahnya karena merasa perintahnya telah diacuhkan. Pemuda ini termenung, ia merasa tidak bersalah karena ia sudah meninggalkan kebiasaan main kartu. Ia menunduk diam tidak membantah saat dimarahi ibunya karena ia sangat memuliakan dan menghormati Ibunya.
Si anak rupanya menyadari bahwa hak orang tua adalah sesuatu yang agung setelah hak Allah untuk diibadahi semata dan tidak dipersekutukan dengan apapun.
Setelah Ibu selesai memarahinya, lalu si bungsu bertanya, “Ibu menemukan kartu dimana?”
“Dibawah bantal!” jawab Ibunya dengan mantap.
“Dimana sekarang kartu tersebut?” tanya anaknya.
“SUDAH IBU BAKAR!”
Jawab Ibunya dengan nada puas telah menghukum anaknya.
Menurut pembaca, kira-kira bagaimana respon anaknya? Apakah ia akan menyalahkan Ibunya? memprotes Ibunya dengan suara yang tinggi bahwa Ibunya telah memfitnah dirinya? Atau apakah anak tersebut akan menjelaskan bahwa yang dibakar oleh Ibunya itu bukan kartu melainkan UANG yang telah susah payah mereka tabung?!
TIDAK!
Si bungsu menundukkan kepalanya, dengan suara perlahan ia meminta maaf kepada Ibunya dan berjanji tidak akan bermain kartu lagi. Amarah Ibu pun mereda lalu beliau melanjutkan kesibukan lainnya di rumah.
Ketika anak pertama pulang ke rumah, si adik langsung menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya bersama ibunya.
Kakaknya bertanya, “Apakah kau ceritakan bahwa yang dibakar oleh Ibu adalah uang?!”
Si adik menjawab, “Tidak! Saya hanya meminta maaf dan berjanji untuk tidak main kartu lagi.”
“Bagus! Jangan kau ceritakan hal itu agar Ibu tidak bersedih yang akan mengganggu pikirannya.”
Allah Akbar! Betapa halusnya perasaan kedua anak itu. Meskipun terlihat jelas bahwa Ibu yang bersalah tapi kedua anaknya tidak ingin mengeruhkan perasaannya, tidak ingin membuat Ibunya kepikiran dan sedih serta menyesali ketergesaannya dalam memvonis.
Kedua pemuda ini hasil didikan orang tua yang shalih. Keduanya memiliki kepekaan hati dan perasaan yang halus. Kedua anak ini tahu betapa berat perjuangan seorang ibu. Keletihan demi keletihan saat mengandung, fisik yang melemah, mual yang berkepanjangan, muntah-muntah dan dahsyatnya pengorbanan ibu saat melahirkan. Keduanya menyadari bahwa pengorbanan dan kasih sayang orang tua sangat besar, dan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pengorbanan mereka mengumpulkan uang itu. Mereka memahami bahwa jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah dengan berbakti dan memuliakan kedua orang tua.
Allah berfirman,
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada Ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al Israa 23)
Allah berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan berterimakasihlah kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Lukman: 14)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, beliau berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِى قَالَ
« أُمُّكَ »
قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ
« أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ
« أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ
« ثُمَّ أَبُوكَ »
“Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam lalu berkata,
‘Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik?’ Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ ‘Ibumu.’ ‘Kemudian siapa lagi?’ ‘Ibumu’. ‘Kemudian siapa lagi?’ ‘Kemudian Ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Alhamdulillah tidak lama setelah musibah tersebut, Allah menggantikan untuk kedua anak yang shalih itu uang sepuluh ribu real dari jalan lain yang tidak disangka.
Penulis: ustad Fariq Gasim Anuz