Nama lengkap beliau adalah Abdurrahman bin ‘Amr, sehingga beliau diberi kuniyah “Abu ‘Amr Al-Auza’i”. Awalnya beliau bertempat tinggal di tempar bernama Auza’ di kota Damaskus, kemudian beliau pindah ke Kota Beirut sampai akhir hayat beliau.
Beliau lahir di saat masih adanya para sahabat nabi, yaitu tahun 88 H dan wafat tahun 157 H. (Siyar A’lamun Nubala 6/541-542)
Beliau merupakan seorang alim yang luas ilmunya dan sholeh, hal ini disaksikan oleh orang-orang yang pernah bersama beliau.
Haql bin Ziyad berkata, “Imam Al-Auza’i telah berfatwa dalam 70.000 persoalan, suatu hari ia ditanya sentang suatu persoalan, beliau menjawab, “Dalam persoalan ini saya tidak memiliki khabar.” Maksudnya adalah, “Semua persoalan yang telah saya fatwakan saya memiliki khabarnya (riwayatnya dari Nabi atau para salaf).” (Tarikh Dimasyq 35/162)
Al-Walild bin Muslim berkata, “Saya pernah melihat Imam Al-Auza’i diam ditempat shalatnya berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit. Beliau juga memberi tahu kita bahwasanya perbuatan itu adalah perbuatan para salaf, dan ketika matahari terbit baru mereka satu sama lain saling berdiri dan berkumpul untuk berdzikir dan memperdalami agama.”
Diantara ungkapan kata-kata mutiara beliau:
مَنْ أَطَال قِيَامَ اللَّيْلِ هَوَّنَ اللهُ عَلَيْهِ، وُقُوفَ يَوْمِ القِيَامَةِ
“Barangsiapa memperlama qiyamullail niscaya Allah akan meringankannya saat berdiri di hari kiamat.”
إِنَّ المُؤْمِنَ يَقُوْلُ قَلِيْلاً، وَيَعمَلُ كَثِيْراً، وَإِنَّ المُنَافِقَ يَتَكَلَّمُ كَثِيْراً، وَيَعْمَلُ قَلِيْلاً
“Sesungguhnya orang mukmin itu sedikit berkata-kata dan banyak beramal, dan orang munafik banyak berkata-kata dan sedikit beramal.” (Siyar A’lamun Nubala 6/549)
Diantara kisah beliau dalam amar ma’ruf nahi munkar:
Pertama, suatu hari Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur menulis surat kepada Imam Al-Auza’i:
Amma ba’du, Amirul mukminin (Abu Ja’far Al-Manshur) telah memberimu amanah sebagaimana ia telah memberi amanah kepada orang-orang sebelummu, maka tulislah pesan untukku yang menurutmu itu adalah mashlahat.
Maka beliau menulis pesan kepada sang Khalifah yang berisi:
Amma ba’du, hendaknya engkau bertakwa kepada Allah, dan bersikaplah rendah hati agar Allah mengangkat derajatmu diwaktu ia merendahkan orang-orang yang bersikap angkuh dimuka bumi dengan cara tidak benar, dan ingatlah bahwa kekerabatanmu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan menambahmu kecuali hak Allah semakin besar atasmu, dan taat kepadanya semakin wajib bagimu. (Siyar A’lamin Nubala 6/552)
Kedua, suatu hari Imam At-Tsauri, Imam Al-Auza’i dan ‘Abbad berkumpul di Mekah, maka Imam Ats-Tsauri berkata kepada Imam Al-Auza’i, “Wahai Abu Amr, ceritakanlah kepada kami pengalamanmu dengan Abdullah bin Ali,” Imam Al-Auza’i menjawab, “Iya, suatu hari ketika ia datang ke Syam dan telah membantai Bani Umayyah ia duduk di peristirahatannya dan membagi prajuritnya menjadi empat kelompok, satu kelompok memegang pedang terhunus, satu kelompok memegang kapak, satu kelompok memegang kapak, dan satu kelompok memegang gelas, kemudian menyuruh salah seorang memanggilku, ketika saya sampai dipintu saya diturunkan (dari tunggangan -red), kemudian dua orang memegang lenganku, mereka membawaku menembus barisan prajurit, sampai mereka meletakkan aku di tempat dimana suaraku dapat didengar olehnya, kemudian saya mengucapkan salam kepadanya. Iapun bertanya, “Apakah kamu Abdurrahman bin Amr Al-Auza’i?” Saya menjawab, “Iya, dan semoga Allah senantiasa membimbing sang amir kepada yang benar.” Ia bertanya, “Apa pendapatmu tentang darah Bani Umayyah?” Ia bertanya seperti nada orang yang hendak membunuh. Saya menjawab, “Dahulu telah ada perjanjian antara engkau dan mereka,” Ia berkata, “Celakalah engkau, anggap saja tidak ada perjanjian antara aku dan mereka!” Maka diriku bergetar dan mataku berkaca-kaca dan saya takut untuk dibunuh, tapi saya ingat saat aku berdiri dihadapan tuhan nanti, maka akupun mengucapkan apa yang ada dibenakku, saya berkata, “Haram bagimu menumpahkan darah mereka.” Maka matanya pun melotot sampai urat diwajahnya tampak, ia berkata, “Celaka engkau, mengapa demikian?” Saya menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَحِلُّ دَمُ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: اَلثَّيِّبُ اَلزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ اَلْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
Dari ibn masud berkata, Rasulullah bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim, kecuali dengan salah satu dari tiga sebab : orang yang sudah menikah lalu berzina, jiwa dengan jiwa (membunuh), dan orang yang keluar dari Islam.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Ia berkata lagi, “Bukankah urusan antara kami adalah urusan agama?” Saya bertanya, “Bagaimana bisa?” Ia menjawab, “Bukankah Rasulullah telah berwasiat kepada Ali?” Saya berkata, “Andai beliau berwasiat kepadanya niscaya Ali tidak akan menyerahkan hukum kepada kedua belah pihak saat itu.”
Ia menjadi semakin marah, dan saya membayangkan kepalaku jatuh didepanku, kemudian ia mengisyaratkan dengan tangannya memerintahkan prajuritnya untuk mengeluarkanku. Setelah itu saya menaiki tungganganku, sebelum saya pergi menjauh saya melihat seseorang menaiki kuda dan mengejarku. Maka sayapun turun dari tunggangan dan hati saya berkata dalam hati, “Ia telah mengutus seseorang untuk mengambil kepalaku,” Maka akupun ingin shalat dua rakaat dan mulai takbir, kemudian sampailah orang tersebut kepadaku dan ia mengucapkan salam dan berkata padaku, “Sang Amir mengirim beberapa dinar ini untukmu, maka ambillah.” (setelah saya shalat-red) maka saya mengambilnya dan saya membagikannya sebelum saya memasuki rumahku.” (Siyar A’lamin Nubala 6/554-555)
Demikianlah dua kisah ihtisab beliau dengan penguasa. Beliau tak gentar untuk mengatakan yang haq walaupun nyawanya terancam, karena rasa takut beliau kepada Allah ‘azza wajalla lebih besar dibanding rasa takutnya kepada siapapun.
Beliau wafat tahun 157 H. (Tarikh Dimasyq 35/228)
Semoga Allah senantiasa merahmati beliau.
Sumber : www.almohtasb.com
Penyusun : Arinal Haq
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet