Allah azza wa jalla berfirman,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan, mereka itulah orang-orang yang beruntung (Qs. Ali Imran : 104)
Pelajaran :
Di antara faedah dan hukum yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut,
1. Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan akan wajibnya beramar ma’ruf nahi munkar. Perkara ini merupakan kewajiban syar’i yang sangat agung. Dengan penegakkannya menjadi sempurna aturannya.
2. Dalam ayat ini juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa kewajiban tersebut bersifat fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain, jika selompok orang telah menegakkannya, maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya. Karena, Allah tidak mengatakan, ‘jadilah kalian semua orang-orang yang memerintahkan kepada kebaikan. Namun Allah mengatakan : وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang.
Lalu, jika Anda berkata, lalu siapakah gerangan yang hendaknya melakukan syariat ini secara langsung ?
Maka, jawabannya, “Setiap muslim yang memiliki kemampuan untuk melakukannya, dan tidak diduga kuat bahwa jika ia melakukannya niscaya ia akan mendapatkan bahaya besar, atau jika ia melarangan niscaya tidak memberikan pengaruh. Karena, jika demikian, maka tindakannya merupakan hal sia-sia. Hanya saja bahwa disukai tindakan menampakkan syiar agama Islam dan mengingatkan manusia tentang persoalan agama.
Dan, jika Anda bertanya, lalu siapakah gerangan orang yang diperintahkan dan dilarang ?
saya katakan, “Setiap orang yang mukallaf. Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaknya ia mengubah kemungkaran tersebut dengan tangannya. Jika ia tidak mampu (mengubah dengan tangannya) maka, hendaknya ia mengubah kemungkaran itu dengan lisannya. Jika ia tidak mampu (mengubahnya dengan tangannya) maka hendaknya ia mengucahnya dengan hatinya dan yang demikian itu (yakni, mengubah kemungkaran dengan hati) merupakan selemah-lemah iman (HR. Muslim)
Dan, yang belum atau tidak mukallaf jika ia berkeinginan untuk menimbulkan bahaya terhadap orang lain, maka ia dicegah, seperti anak kecil dan orang gila, dan anak kecil dilarang dari melakukan perkara yang haram sehingga ia tidak terbiasa melakukannya, sebagaimana juga mereka dibawa serta untuk mengikuti shalat agar mereka terbiasa melakukannya. Sebagaimana disebutkan oleh az-Zamakhsyari-semoga Allah merahmatinya- (lihat, Mahasin at-Ta’wil (Tafsir al-Qasimiy), surat Ali Imran ayat 104)
3. Di dalam ayat ini juga terdapat dalil yang menunjukkan tingginya kedudukan kewajiban ini.
Imam al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) mengatakan, “Sesungguhnya amar ma’ruf nahi munkar merupakan kutub yang teragung di dalam agama. Perkara ini merupakan perkara yang sangat penting yang oleh karenanya Allah mengutus para Nabi. Andai kata perkara ini tidak dihiraukan pengkajiannya dan tidak pula dipraktekkan niscaya agama akan pergi, kesesatan akan tetap meraja lela, kebodohan menyebar di mana-mana, kerusakan akan mendominasi semua lini kehidupan, negeri-negeri akan binasa dan demikian pula penduduknya. Namun, mereka tak bakal merasa rusak dan hancur melainkan pada hari saling memanggil. Itulah hal yang sangat kita takutkan akan terjadinya. Sesungguhnya kita milik-Nya dan kepada-Nyalah kita kembali. Ketika hal ini tidak ditegakkan, niscaya hati manusia akan semakin jauh berpaling dari Allah, terus saja mengikuti dorongan hawa nafsunya dan sayahwatnya yang jelek, mereka bakal hidup layaknya binatang. Maka, siapa yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah keluarga dan masyarakatnya serta bangsanya, niscaya ia, bahkan masyarakanya bakal mendapatkan keuntungan yang besar dalam kehidupan mereka. (Ihya Ulumuddin, 2/206 dengan gubahan)
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita. Amin
Wallahu A’lam
Sumber :
Banyak mengambil faedah dari “Waqafaat Ma-‘a Aayaati al-Hisbah Fii al-Qur’an al-Karim”, karya : Abu Abdirrahman Shadiq bin Muhammad al-Hadiy, hal. 34-35
Amar Abdullah bin Syakir