Dari Ibnu Umar, ia berkata, ini “al-Baidaa” yang kalian berdusta tentangnya (yakni, kalian katakan bahwa Nabi berihrom darinya, padahal beliau berihrom sebelum tempat tersebut-pen) atas Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-. Demi Allah, tidaklah Rasulullah bertalbiyah untuk ihrom (Niat untuk memulai rangkaian aktifitas manasik haji atau umrah) melainkan di sisi pintu Masjid (di Dzulhulaefah).
(HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan pula oleh Bukhari-secara ringkas-, 3/468, hadis no. 1541), Muslim, 8/330, hadis no.2808)@
Ihtisab
dalam Hadis :
Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam poin berikut ini :
Pertama,
Berihtisab terhadap orang yang bertalbiyah untuk berihrom (niat untuk memulai rangkaian ibadah umrah atau haji) setelah melampaui batas miqot.
Kedua,
Berihtisab terhadap orang yang menukil berita tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu.
Penjelasan :
Berihtisab terhadap orang yang bertalbiyah untuk berihrom (niat untuk memulai rangkaian ibadah umrah atau haji) setelah melampaui batas
Seorang muhtasib hendaknya mengingkari perbuatan orang yang hendak melaksanakan haji atu umrah namun ia tidak bertalbiyah untuk berihrom (niat untuk memulai rangkaian ibadah haji atau umrah) kecuali setelah orang tersebut melewati batas miqot yang telah ditentukan. Sungguh, Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam– telah menentukan tempat-tempat miqot bagi orang-orang yang tempat tinggal mereka sebelum tempat miqot-miqot yang telah ditentukan tersebut, dan bagi orang-orang yang datang melewatinya yang bukan penduduknya. Hadis di atas menunjukkan bahwa barangsiapa berhaji atau umrah melalui via Madinah, hendaknya ia berihrom di masjid Dzulhulaifah. Mereka tidak boleh mengakhirkan pelaksanaan ihrom hingga sampai di daerah al-Baidaa. Dengan inilah seluruh ulama mengatakan. (Lihat, Shahih Ibnu Khuzaemah, 4/168; Syarh Muslim, an-Nawawi, 8/331, Fathul Baariy, Ibnu Hajar,3/468)
Abdullah bin Umar telah mengingkari tindakan orang yang bertalbiyah untuk berihrom yang dilakukan di daerah “al-Baidaa” yang terletak setelah Dzulhulaefah ke arah Makkah. Karena, siapa yang berihrom dari daerah tersebut (yakni, al-Baidaa) telah melampaui batas miqot yang telah ditentukan oleh Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam– untuk penduduk Madinah (atau untuk orang-orang yang hendak beribadah haji atau umroh via Madinah). Ibnu Umar menjelaskan bahwa Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- tidaklah bertalbiyah melainkan disamping pohon ketika unta tunggangannya telah berdiri (yakni, di sisi masjid Dzulhulaefah) (HR. Muslim, 8/331, hadis no. 2809). Dan, beliau (Ibnu Umar) –semoga Allah meridhainya- mengatakan : Sesungguhnya Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam– setelah meletakkan kakinya pada pelana dan tunggangannya telah berdiri siap untuk berjalan, beliau bertalbiayah untuk ihrom (niat untuk memulai rangkaian aktifitas manasik haji atau umrah) (HR. Ibnu Khuzaemah, 4/168, hadis no. 2613, al-Bukhari, 6/82, hadis no. 2865, Muslim, 8/335, hadis no. 2812)
Berihtisab terhadap orang yang menukil berita tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu
Sesungguhnya, termasuk sifat yang sangat penting yang wajib atas seorang muhtasib adalah menghiasi dirinya dengan sifat “mengkroscek kebenaran sebuah berita” baik dalam hal penukilan berita atau mendengarnya, karena hal tersebut merupakan perkara penting yang sangat diserukan oleh pembuat syariat yang mulia. Terlebih dalam hal penukilan hadis Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maka, tidak dibenarkan seorang muhtasib melakukan pengingkaran suatu perkara sebelum mengkroscek kebenaran terjadinya hal tersebut, dan bahwa hal tersebut dipastikan merupakan kemungkaran yang jelas. Demikian pula, ia tidak boleh memerintahkan dengan sesuatu perintah melainkan setelah ia benar-benar memastikan bahwa hal tersebut merupakan perkara jelas-jelas ma’ruf.
Dan, serorang muhtasib hendaknya mengingkari terhadap tindakan orang yang menukil berita tanpa mengecek kebenaran berita tersebut. Pembuat syariat telah mewanti-wanti tindakan penukilan berita tanpa terlebih dahulu mengecek kebenaran berita tersebut. Dan pembuat syariat juga mendorong agar seseorang tidak terburu-buru menukil dan menyebarkan berita tersebut. Allah ta’ala telah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. al-Hujurat : 6)
Ibnu Umar –semoga Allah meridhainya-telah mengingkari terhadap orang yang mengatakan bahwa Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- bertalbiyah untuk berihrom dari daerah “al-Baidaa.” Pengingkaran yang dilakukannya tersebut karena beliau benar-benar mengetahui bahwa Nabi tidaklah melakukan hal tersebut melainkan dari sisi pintu Masjid (di Dzulhulaefah)
Wallahu A’lam
Sumber :
Diterjemahkan dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 222-223
Amar Abdullah bin Syakir
2019-06-26