Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu adalah sahabat yang terkenal dengan sifat pemalu, sampai-sampai malaikat juga merasaa malu padanya. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallaallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu’anha:
ألا أستحي من رجلٍ تستحي منه الملائكةُ
“Bukankah sudah sewajarnya aku merasa malu kepada seseorang yang Malaikat saja merasa malu kepadanya? (Utsman bin Affan)” (HR. Muslim 2401).
Ini merupakan persaksian dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap Utsman bahwa ia adalah orang yang sangat pemalu, sehingga membuat rasulullah dan malaikatpun malu padanya. Namun, rasa malu Utsman adalah malu yang terpuji dan pada tempatnya. Dan malu tersebut tidak menghalanginya dari yang haq, disaat dimana perlu ketegasan beliaupun bersikap tegas.
Ketika Utsman radhiyallahu’anhu diangkat menjadi khalifah, banyak problem-problem terjadi yang harus disikapi secara tegas dan tidak bisa ditolerir dengan perasaan. Maka tampaklah ketegasan Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu -yang terkenal sebagai orang pemalu- untuk menyelasiakan problem-problem tersebut
Diantaranya adalah ketika seorang lelaki yang terbukti minum khamr dibawa kehadapannya, setelah semua saksi dan bukti lengkap serta tidak ada keraguan bahwa orang tersebut telah meminum khamr, Utsman radhiyallahu’anhu memerintahkan agar ia dicambuk sebagai had baginya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Hudlain bin Al-Mundzir Abu Saasaan, ia berkata : “Aku menyaksikan ‘Utsman bin ‘Affan, saat itu Al-Waliid dibawa ke hadapannya yang baru saja menyelesaikan shalat Shubuh dua raka’at. (Penyebabnya adalah) Al-Waliid berkata (karena mabuk) : ‘Apakah aku menambah raka’at bagi kalian?’. Dua orang shahabat memberikan kesaksian padanya. Salah satunya adalah Humran yang memberikan kesaksian bahwasannya ia (Al-Waliid) telah meminum khamr. Sedangkan yang lain memberikan kesaksian bahwasannya ia melihatnya muntah (karena khamr). ‘Utsmaan berkata : ‘Ia tidak akan muntah jika tidak meminumnya’. Kemudian ia berkata : ‘Wahai ‘Ali, berdirilah dan cambuklah orang ini!’. Lalu ‘Ali berkata: ‘Berdirilah wahai Hasan, dan cambuklah ia!’. Al-Hasan (bin ‘Ali) berkata: ‘Suruhlah orang yang memiliki jabatan (maksudnya ‘Utsman) yang mengerjakannya!’. Sepertinya Al-Hasan sedang marah kepadanya. Lalu ‘Ali berkata : ‘Wahai ‘Abdullah bin Ja’far, berdirilah dan cambuklah ia!’. Lalu ‘Abdulah mencambuknya, sedangkan ‘Ali menghitungnya, hingga pada hitungan keempat puluh, ia berkata: ‘Tahan!’. Lalu ia melanjutkan perkataannya: ‘Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendera sebanyak empat puluh kali, Abu Bakr empat puluh kali, dan ‘Umar delapan puluh kali. Semuanya sunnah. Namun ini (cambukan empat puluh kali) lebih aku sukai” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1707].
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “maksud dari perkataan ‘semuanya sunnah’ adalah perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiyallahu’anhu (mencambuk peminum khamr dengan empat puluh kali cambukan) adalah Sunnah yang diamalkan, begitu juga dengan perbuatan Umar radhiyallahu’anhu (yang mencambuk peminum khamr delapan puluh kali). Tetapi (menurut perkataan Ali) perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiyallahu’anhu lebih aku sukai (yaitu mencambuk peminum khamr dengan empat puluh cambukan.” (Syarah Shahih Muslim, karya Imam Nawawi hadits No. 1707).
Imam Nawawi juga menyebutkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang jumlah cambukan yang dijatuhkan kepada peminum khamr. Menurut Imam Syafii, Abu Tsaur, dan Dawud adz-Dzahiri jumlah cambukannya adalah empat puluh (sebagaimana di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Abu Bakar). Imam Syafii berkata, “Orang yang memiliki wewenang (untuk melaksanakan hukum cambukan) boleh menambahnya sampai delapan puluh cambukan. Dan tambahan tersebut merupakan ta’zir (hukuman dari yang berwewenang).” Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa had peminum khamr adalah delapan puluh cambukan sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad, dan Sufyan Ats-Tsauriy. Mereka berpendapat bahwa perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam (mencambuk empat puluh kali) bukan dalam bentuk penentuan jumlah cambukan. Sedangkan kelompok pertama (yang berpendapat bahwa hukumannya empat puluh kali cambukan) mengatakan demikian karena berpendapat bahwa andai kata jumlah cambukan yang ditentukan oleh syariat bagi peminum khamr delapan puluh, niscaya Rasulullah dan Abu Bakar tidak akan menguranginya, sehingga ketika Rasulullah dan Abu Bakar mencambuk empat puluh sedang Umar delapan puluh maka dapat dipahami bahwa tambahan Umar tersebut adalah sebagai bentuk ta’zir, dan ta’zir tersebut kembali kepada yang berwewenang dalam yang lebih mashlahat. Dari penuturan Imam Nawawi ini beliau lebih condong kepada pendapat pertama yang merupakan pendapat Imam Syafii rahimahullah.
Kesimpulannya, dalam hadits ini Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu yang berlaku sebagai Khalifah menindak Al-Waliid yang telah terbukti minum khamr dengan tidakan yang tegas sesuai perintah syariat, yaitu dengan mencambuknya. Sifat beliau yang pemalu tidak menjadikan beliau mendiamkan kemungkaran, dan tidak menghalangi beliau dari bersikap tegas disaat diperlukan ketegasan.
Wallahua’lam
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,