Kemuraman dalam Kehidupan Rumah Tangga

Seorang laki-laki mengeluhkan istrinya yang selalu berwajah muram dan rumahnya yang bak Neraka Jahim. Bila ia pulang ke rumah langsung disergap kesedihan tatkala melihat wajah istrinya yang marah, cemberut, menakutkan, acuh tak acuh dan diam seribu bahasa. Sungguh, sebuah rumah yang hampa tawa canda dan kebahagiaan. Sirna sudah harapan baiknya seperti tenggelamnya matahari kebahagiaan dari rumahnya, sehingga ia digerogoti banyak penyakit.

Ia menuturkan, “Di rumahku ada satu penyakit namanya wajah muram.” Ia menyalahkan semua sebabnya pada sang istri, dan ia mengaku tidak tahu mengapa istrinya selalu berwajah muram.  Mengapa senyuman itu tidak menghiasi wajahnya dan bahkan digantikan kemarahan serta ancaman ? Mengapa ia tak mau bicara ? Dan mengapa ia enggan menjawab ?

Sebenarnya, suami ini tidak sadar bahwa dengan memperlihatkan wajah muram tersebut, sang istri memancingnya untuk bicara. Sejatinya, istri mengirimkan pesan nyata padanya. Memang sebuah pesan negative, namun biginilah cara yang ditempuhnya. Akibatnya suami gundah dan juga sedih. Kemudian perasaan ini mendidih dalam dadanya, lalu akhirnya meledak. Dan api percekcokan pun berkobar.

Dengan demikian, istri telah berhasil. Ia sukses memprovokasi suami keluar dari sikap proporsionalnya. Sebab, ia terus menekan satu hal paling penting yang dapat menyinggung harga diri suami sebagai seorang laki-laki. Yakni sikap acuh tak acuh. Artinya tidak mengakui keberadaan suami. Lebih tegasnya, tidak mempedulikannya. Akan tetapi ini bukan perasaan istri yang sebenarnya. Ia sendiri juga geram karena marah. Marah lantaran sesuatu hal. Tapi ia tak mampu mengungkapkannya, dan inilah tabiatnya. Atau, bisa jadi ia terlalu gengsi untuk mengutarakannya. Suami ini pernah berbuat salah kepada dirinya, tapi ia tak sadar telah melakukan kesalahan. Dan, bisa jadi kekeliruannya itu tidak manusiawi.

Misalnya, mungkin suami tidak mempedulikan perasaanya, tidak mengabaikan kehidupan ranjangnya, sangat bakhil, terlalu lama berada di luar rumah tanpa ada alasan yang tepat. Atau, boleh jadi perilakunya mencurigakan. Dan, masih banyak lagi perpuluh-puluh kemungkinan yang lain. Akan tetapi suami ini tak sadar, lalai. Atau mengerti tapi pura-pura tidak mengerti, dan ia tak tahu bahwa istri merasa tersakiti. Artinya, suami telah kehilangan sensitivitasnya. Hanya saja istri tidak mau mengatakan secara langsung.

Ia enggan mengungkapkan perasaannya yang dongkol. Barangkali lantaran merupakan perkara yang sensitif dan rumit. Atau, barangkali hal itu telah menyinggung kehomatannya. Atau, karena suami dan istri ini tidak terbiasa berbicara terbuka. Karenanya, istri tak memiliki cara selain media negatif ini untuk mengungkapkan perasaannya, yang sekaligus menjadi cara untuk membalas sikap tak peduli suami. Apabila suami membalas diam istrinya dengan diam, ketidakpeduliannya dengan ketidakpedulian, itu hanya akan menambah kemarahan istri. Dan, tak menutup kemungkinan menimbulkan gejolak dan meledak. Sehingga istri akan memanfaatkan kesempatan apa pun, meskipun jauh dari permasalahan pokok, untuk mengobarkan api pertengkaran. Pasalnya, suami terus menerus mengintimidasi perasaannya hingga menyebabkan dirinya meluapkan kemarahan.

Suami menekannya dengan mendiamkan dan ketidakpeduliannya sebagai jawaban atas sikap diam dan acuh tak acuh istri. Itu ending yang amat buruk atau skenario yang sangat jelek. Sejatinya, istri sengaja bersikap diam dan tak peduli untuk memancing dan membakar kemarahan suami, mengusik eksistensinya dan menggoncang perasaannya melalui kehormatan dirinya. Agar ia marah, atau bahkan murka hingga hilang kendali. Dengan begini luapan kedongkolan isrti sedikit mereda, dan ia senang dengan terpancingnya emosi suami. Walau pun permasalahan justru semakin berkobar dan genting, piring-piring berterbangan dan lengkingan suara bersahut-sahutan. Inilah kondisi kemarahan yang dipendam. Berangsur-angsur terakumulasi hingga tak lagi bisa diredam. Akhirnya kesabaran pun pecah menghamburkan kobaran api, sehingga kebakaran pun meluas.

Bisa jadi cara berinteraksi dan mereaksi seperti ini berlanjut hingga bertahun-tahun lamanya. Ini mengakibatkan terkikisnya perasaan-perasaan positif, mengurangi stok memori indah kehidupan rumah tangga dan menambah pasokan memori negatif yang pahit. Keduanya menjadi terbiasa dengan kehidupan yang kosong dari adanya saling pengertian dan kebahagiaan. Otomatis, rumah tangga pun berubah menjadi bak neraka Jahim. Istri sibuk mengurusi dirinya sendiri, sedang suami lari meninggalkan rumah. Keretakan ini tidak akan terwujud kalau seandainya ada cara positif untuk saling pengertian.

Mendiagnosa situasi seperti ini, kami dapat mengatakan :

Kita tengah menghadapi suami yang tidak memahami hal-hal yang bisa menyakiti dan menyinggung perasaan istri. Semakin lama, semakin lama, suami ini bertambah terlena dalam kekeliruannya. Di samping ia juga telah kehilangan sensitivitas perasaannya pada istri. Kita juga menghadapi seorang istri yang menyembunyikan emosinya, memendam kesedihannya dan terbakar amarah. Istri ini menempuh cara yang negatif untuk membalas suaminya. Yakni dengan menyelubungkan suasana muram di dalam rumah agar suami tak merasakan ketenangan, ketentraman, kedamaian dan kenyamanan.

Istri tak henti-henti memprovokasi suami hingga emosinya bergejolak. Tapi keduanya tak mau belajar. Malah suami dan istri ini terus menjalani metode hidup yang sama yang setelah itu atau beberapa tahun kemudian bisa mengancam ketentraman dan kedamaian rumah tangga. Berlangsungnya kehidupan saling menyakiti ini berarti indikasi turunnya tingkat cinta dan kasih sayang.

Ini berarti kita tengah berhadapan dengan satu problem rumah tangga yang butuh perhatian ekstra. Suami dan istri ini sama-sama menderita. Keduanya marah. Keduanya merasa diteror. Masing-masing menuduh yang lain dan menganggapnya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Sementara ia melihat dirinya sebagai korban. Singkat kata, tak ada perenungan atau introspeksi dan tak ada kearifan.

Kesalahan terbesar yang dilakukan suami dan istri ini adalah keduanya membiarkan permasalahan bertumpuk-tumpuk tanpa ada upaya penyelesaian, tanpa ada penjelasan, tanpa pembicaraan secara terbuka dan kepala dingin, pun masing-masing tidak mau menegur yang lain terkait kesalahan-kesalahannya sejak dari pertama. Maka solusinya, masing-masing pihak harus mengutarakan kegundahan, kekhawatiran, dugaan, kepedihan dan kesedihannya. Masing-masing harus menyampaikan keluh kesahnya kepada yang lain dengan kata-kata yang jelas, suara yang biasa didengar dan intonasi yang penuh kasih sayang. Keluh kesah ini harus disampaikan terus-menerus, tak kenal bosan dan berulang-ulang hingga menyentuh dasar hati pihak lain.

Bisa jadi sikap acuh tak acuh suami pada penderitaan istri tidak disengaja, atau tidak didasarkan pada niat buruk atau busuk. Tapi, karena ia benar-benar tak mengerti saja. Ia tahu lantaran istri tidak mengatakan kepadanya, pun tidak mengungkapkan secara langsung. Mungkin istri berkeyakinan, suami wajib memperhatikan perasaannya tanpa ia perlu menunjukkan padanya. Atau, bisa jadi istri sangat berharap suami memiliki tingkat kepekaan perasaan yang memadai. Atau, ia mungkin berharap, dengan sendirinya suami akan meninggalkan perbuatan dan perilaku yang menyinggung perasaan dan menyakitinya.

Ini bagus dan lumrah. Sah-sah saja istri memiliki gambaran dan harapan ideal seperti ini. Tapi permasalahan ini perlu diingatkan dengan halus, ditunjukkan secara santun dan diungkapkan dengan kata-kata sindiran. Melalui kata-kata yang menyentuh perasaan dan rasa malu tanpa mengatakan secara langsung. Tak ada salahnya, terutama terkait masalah-masalah yang penting, sensitif dan rumit, mengungkapkan secara langsung dan membicarakannya dengan objektif. Ini hak masing-masing yang harus diterima pihak lain. Inilah kewajiban setiap dari kedunya kepada yang lain. Dan inilah pengertian asli cinta dan kasih sayang. Sebab, suami dan istri yang mencapai taraf saling membenci seperti ini, sebenarnya arti hakiki cinta dan kasih sayang  telah hilang total dari hati keduanya. Padahal sebenarnya, siapa pun yang hendak melangsungkan pernikahan-laki-laki atau wanita-ia harus memahami secara mendalam, dengan hati, pikiran dan jiwanya, berbagai pengertian hakiki firman Allah berikut :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً [الروم : 21]

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang…(Ar-rum : 21)

Wallahu A’lam

Sumber :

Al-Mafatih Adz-Dzahabiyah li Ihtiwa’ Al-Musykilat Az-Zaujiyah, Nabil bin Muhammad Mahmud, ei, hal.82-87

Amar Abdullah bin Syakir

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *