Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah.
Qurban merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah yang sangat mulia. Namun, tidak jarang orang yang justru terjatuh kedalam kesalahan atau kemungkaran kaitannya dengan bentuk ibadah yang satu ini.
Memperiotaskan Berkurban untuk Orang yang telah meninggal
Boleh jadi ada orang yang dia dikaruniai kemampuan untuk berkurban setiap tahunnya. Ia berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia dari kalangan keluarganya atau kerabatnya. Akan tetapi, ia meninggalkan berkurban untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang masih hidup di antara keluarga atau kerabatnya.
Saya katakan, pada asalnya kurban itu disyariatkan untuk orang-orang yang masih hidup, berdasarkan apa yang dinukil dengan benar dari Nabi ﷺ bahwa beliau berkurban untuk dirinya dan keluarganya. Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang berupa memprioritaskan berkurban untuk orang-orang yang telah meninggal daripada dirinya sendiri, maka tidak ada dasarnya, sejauh yang kami ketahui.
Adapun qurban untuk orang yang telah meninggal dunia jika merupakan wasiat yang harus ditunaikannya, maka ini harus dilaksanakan, sekalipun ia belum berkurban untuk dirinya sendiri. Hal ini karena ia diperintahkan untuk melaksanakan wasiat yang diembannya.
Keyakinan Qurban Wanita yang Sedang Haid atau Orang yang Tengah Junub Tidak Sah.
Ini juga termasuk keyakinan yang salah atau munkar. Sebab, bukan merupakan syarat atau rukun qurban bahwa orang yang berkurban itu harus dalam kondisi suci, baik suci dari hadas besar ataupun hadas kecil.
Sebagian orang juga berkeyakinan namun salah, bahwa barang siapa ingin berkurban ia diharamkan untuk melakukan hubungan intim dengan pasangan hidupnya. Sebagian orang ada juga yang mengharamkan segala hal yang merupakan perkara-perkara yang terlarang ketika seseorang tengah dalam keadaan ihram. Boleh jadi, kesalahan anggapan atau keyakinan ini disebabkan oleh karena ketidak tahuan mereka.
Ada pula anggapan sebagai orang bahwa barangsiapa yang ingin berkurban sementara ia telah mencukur rambutnya atau memotong kukunya maka tidak sah untuk berkurban, dan jika ia berkurban maka kurbannya tidak sah. Ini merupakan kesalahan. Yang benar bahwa kurban tersebut sah dan pelakunya berdosa karena tindakannya mencukur rambut dan memotong kukunya.
Sebagian orang ada yang melakukan kesalahan berupa menyembelih hewan qurbannya di malam ied karena melihat padatnya aktivitas para tukang jagal. Tentunya, hewan yang disembelihnya tersebut statusnya bukan sebagai daging kurban namun merupakan daging biasa. Karenanya, ia tidak mendapatkan pahala berkurban. Hal demikian itu karena kurban merupakan ibadah yang ditentukan batasan waktunya, maka tidak boleh dilanggar. Kurban tersebut harus dilakukan pada waktunya.
Termasuk kesalahan pula adalah apa yang dilakukan oleh sebagian orang yaitu bahwa mereka berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia di awal tahun ia meninggal dunia, yang mereka namakan dengan “Udhiyah Al Hafrah”, dan mereka meyakini bahwa tidak boleh ada seorang pun yang disertakan dengannya untuk mendapatkan pahala qurbannya.
Sementara Islam tidak mengenal istilah “Udhiyah Al Hafrah” ini. Ini merupakan hal yang baru (bid’ah). Dan, keyakinan mereka yang menganggap tidak boleh mengikut sertakan orang lain untuk mendapatkan pahala kurbannya merupakan anggapan yang keliru.
Termasuk kesalahan pula adalah apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang berkurban di mana ia tidak memberikan sebagian qurbannya sedikitpun kepada orang-orang fakir-miskin, qurbannya tersebut hanya dinikmati dirinya dan keluarganya serta orang-orang yang dikenalnya. Ini merupakan kesalahan. Seharusnya, ia pun memberikan sebagian dari kurbannya tersebut untuk orang-orang fakir-miskin pula.
Sebagian orang sengaja mengambil sebagian darah yang mengucur dari sembelihan hewan kurbannya lalu ia melumurkannya pada tembok dengan anggapan bahwa hal ini akan menjadi saksi baginya kelak pada hari Kiamat dan ia pun membiarkan darah tersebut pada tembok hingga hilang dengan sendirinya. Tindakan semacam ini, tidaklah ada dasarnya dalam syariat.
Bersambung …
Wallahu A’lam
Sumber :
Al Akhtaau Wa Al Mukhalafat Al Muta’alliqah Bi Al Udhiyah (https://e7saan.com/article/details/1014)
Amar Abdullah bin Syakir