Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, kami bersama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- kembali dari Makah ke Madinah, hingga ketika kami mendapi air di jalan, sekelompok orang bergegas untuk melaksanakan shalat Asar, maka mereka pun kemudian berwudu secara tergesa-gesa, kami menghampiri mereka sementara tumit mereka terlihat terang tidak terkena air (saat mereka berwudhu).
Maka, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “sebuah lembah di neraka siap ditempati tumit-tumit itu (yang tidak terkana air saat wudhu), sempurnakanlah wudhu! (HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan pula oleh imam Muslim, 3/123, hadis no. 569)
Dari Anas bin Malik-semoga Allah meridhainya- berkata, “ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-, ia telah berwudhu namun ia tidak membasuh punggung telapak kakinya seukuran kuku, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “kembalilah engkau berwudhu, perbaguslah wudhumu (HR. Ibnu Khuzaemah, Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, 1/91, hadis No. 173, Ibnu Majah, 1/367, hadis no. 665, Ahamd, 3/146, ad-Daruquthniy, 1/108. Hadis ini dihasankan sanadnya oleh syaikh al-Baniy dalam ta’liqnya terhadap Ibnu Khuzaemah,1/84)
Dari Abdullah bin Amr –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- agak menjauh jaraknya dengan kami saat kami tengah dalam sebuah perjalanan jauh, kemudian beliau mendapati kami saat kamitelah mendapati (masuknya waktu) shalat-yakni, shalat Asar-, lalu kami pun segera berwudhu, kami hanya mengusap kaki-kai kami. Maka, beliaupun menyeru dengan suara yang tinggi sebanyak dua atau tiga kali, seraya mengatakan, “sebuah lembah di neraka siap ditempati tumit-tumit itu (yang tidak terkana air saat wudhu)” (HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan pula oleh Imam al-Bukhari ,1/319, hadis no. 163)
Ihtisab di dalam Hadis
Di dalam hadis-hadis tersebut di atas terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi, di antaranya yang terangkum dalam beberapa poin berikut ini :
1. Seorang muhtasib hendaknya awas terhadap kondisi di sekitarnya untuk meluruskan kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan kesalahan.
2. Beramar ma’ruf nahi munkar terhadap orang yang melakukan kesalahan dalam wudhunya.
3. Gaya bahasa warning (ancaman) termasuk salah satu gaya yang dapat dipakai untuk melakukan pengingkaran terhadap kemunkaran.
4. Pentingnya seorang muhtasib (orang yang beramar ma’ruf nahi munkar) mengaitkan hukum-hukum dengan dalil-dalilnya.
5. Bersegeranya seorang muhtasib dalam upaya memerintahkan manusia kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemunkaran, membimbing dan memberikan pengarahan yang baik terhadap orang yang belum mengerti (bodoh) dan orang yang lalai.
6. Perhatian seorang muhtasib terhadap perkara thaharoh (bersuci)
Penjelasan :
Adalah Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- sedemikian bersemangat untuk memberikan hidayah kepada manusia, mengajari mereka dan mensucikan hati mereka; dan ketika kita menilik kepada sirah (perjalanan hidup) beliau, kita dapati bahwa beliau menyeru (kepada kebaikan) di semua tempat, waktu dan keadaan. Beliau menyeru semua golongan manusia dengan menggunakan semua gaya dan sarana yang mungkin dapat digunakan, termasuk kala beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam perjalanan jauh dari Makkah menuju ke kota Madinah, kala beliau melewati suatu kaum di mana mereka telah berwudhu sementara tumit-tumit mereka terlihat belum terkena air wudhu, beliaupun mengingkari mereka dan membetulkan ibadah mereka.
Dan para sahabat beliau –semoga Allah meridhai mereka- pun meneladani beliau dalam hal tersebut. Inilah Abu Hurairah, beliau melewati orang-orang di tempat-tempat mereka, beliau memerintahkan mereka untuk melakukan yang ma’ruf dan mencegah mereka dari kemungkaran. Dalam riwayat imam al-Bukhari dan yang lainnya semisal para pengarang kitab sunan-semoga Allah merahmati mereka- disebutkan bahwa Abu Hurairah pergi menuju ke kerumunan manusia yang tengah berwudhu di sebuah tempat yang biasa dijadikan sebagai tempat bersuci, beliau mengatakan (kepada orang-orang), “sempurnakanlah wudhu, karena sesungguhnya Abul Qasim (yakni, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-) telah bersabda, “sebuah lembah di neraka siapa ditempati tumit-tumit itu (yang tidak terkana air saat wudhu)”. Berkata Ibnu Hajar –semoga Allah merahmatinya- “sepertinya beliau melihat kecerobohan yang dilakukan oleh mereka (kala berwudhu) dan beliau mengkhawatirkan mereka (bakal celaka karena perbuatan mereka tersebut) (Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 1/321)
Oleh karena itu, seyogyanya seorang muhtasib bersemangat dalam upaya memberikan petunjuk kepada manusia sebagai bentuk peneladanan terhadap Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan memperhatikan manusia, membantu yang lemah, mengajari orang yang belum mengerti, mengingkari kemunkaran, memerintahkan kepada kebaikan… yang demikian itu merupakan bentuk peneladanan terhadap Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-, kemudian juga peneladanan terhadap para sahabatnya. (Fiqh ad-Da’wah, Khalid al-Quroisyiy, 2/709)
Tidak baiknya seseorang dalam berwudhu, dengan tidak mengikuti tata cara wudhu yang disyariatkan Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- dapat menjadikan batalnya shalat yang dilakukannya, karena wudhu merupakan (salah satu) syarat sahnya shalat. Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “ tidak ada shalat (yakni, tidak sah sahalat) orang yang tidak memiliki wudhu”.
Orang yang tidak secara baik dalam berwudhu atau orang yang tidak sempurna dalam berwudhu (semisal, tidak membasuh sebagian anggota wudhu yang harus dibasuh) seakan-akan ia tidak berwudhu atau tidak memiliki wudhu. Oleh karena itu, Nabi mengingkari tindakan sebagian shahabatnya ketika beliau melihat mereka tidak menyempurnakan wudhunya, seraya mengatakan, “sebuah lembah di neraka siap ditempati tumit-tumit itu (yang tidak terkena air saat wudhu), sempurnakanlah wudhu!“. Al-‘Ainiy –semoga Allah merahmatinya- mengomentari sabda beliau ini seraya mengatakan, “ di dalam sabda beliau terdapat petunjuk, yaitu bahwa hendaknya seorang alim (tahu tentang syariat) mengingkari tindak keteledoran terhadap perkara yang wajib dan juga perkara yang sunnah (‘Umdatu al-Qariy, al-‘Ainiy, 2/10; lihat juga, Syarh Shahih al-Bukhari, Ibnu Bathal, 1/39)
Sesungguhnya, sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- “sebuah lembah di neraka siap ditempati tumit-tumit itu (yang tidak terkena air saat wudhu)” di dalamnya terdapat ancaman bagi orang yang tidak membasuh kedua tumitnya saat wudhu. Begitu juga bagi orang yang hanya mengusapnya saja, seperti yang dilakukan oleh kalangan syi’ah. Karena, yang wajib terkait dengan kaki saat wudhu adalah membasuhnya bukan mengusapnya. Dan jika hal tersebut tidak dilakukan maka wudhunya tidak sah.
Tentang perkataan Abu Hurairah “sempurnakanlah wudu”! saat melewati kerumunan manusia yang tengah berwudhu di sebuah tempat yang biasa dijadikan sebagai tempat bersuci, yang kemudian beliau mengikutinya dengan ungkapan “karena sesungguhnya Abul Qasim (yakni, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-) telah bersabda, “sebuah lembah di neraka siap ditempati tumit-tumit itu (yang tidak terkana air saat wudhu)”, ini merupkan pengingkaran Abu Hurairah, beliau mengaitkan hukum dengan dalilnya, beliau berdalil dengan sabda Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam-. Ibnu Hajar berkomentar, “di dalamnya terdapat petunjuk bahwa hendaknya seorang ‘alim melandaskan fatwanya pada dalil agar hal tersebut lebih mengena dan menghujam dalam diri pendengarnya. (Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 1/321)
Wallahu a’lam
Sumber :
Banyak mengambil faedah dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 42-44 (dengan ringkasan)
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir