Ummat ini mendapatkan kemenangan demi kemenangan dimasa kejayaannya bukan dengan jumlah prajurit yang banyak dan senjata yang canggih, namun dengan kekuatan iman dan takwa, sehingga jumlah yang sedikit itu dapat mengalahkan lawan yang banyak, meski dengan senjata perang seadanya.
Sebutlah peperangan pertama antar kaum muslimin dan musyrikin, yaitu Perang Badar, yang mana jumlah musuh tiga kali lipat dibandingkan jumlah kaum muslimin, namun Allah Ta’ala memberikan kemenangan bagi pengikut nabi-Nya yang meski jumlahnya sedikit namun bermental baja tertempah islam, iman dan ihsan.
Maka di umur umat islam yang sudah 14 abad ini, disaat dimana kebesaran umat islam semakin menurun dimata para musuh, maka kebutuhan untuk mengembalikan kejayaan masa lalu itu semakin tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Dan cara yang paling utama untuk mengembalikan kejayaan masa lalu salah satunya adalah dengan mengikuti metode para pendahulu ketika membangun sejarah mereka, yaitu pembinaan ketakwaan kaum muslimin, dari level awam sampai ke para mujahid di medan perang.
Ketika membicarakan tentang ketakwaan bukan hanya tertuju kepada amalan-amalan yang dapat meningkatkan ketakwaan itu sendiri, namun juga wanti-wanti untuk tidak melakukan apa-apa yang dapat mengurangi ketakwaan, dengan melakukan sesuatu yang merupakan lawan dari ketakwaan dan iman, yaitu maksiat dan kemunafikan.
Dan terbukti, dari sejak mata terbuka di awal hari, Islam menuntut pembuktian keimanan seorang muslim disana, yaitu melalui shalat subuh, akankah seorang muslim tersebut lebih mencintai Rabb-Nya sehingga bergegas meninggalkan dipan empuknya menuju rumah-Nya, atau bahkan sama sekali meninggalkan shalat subuh, dan hanya terbangun untuk menjemput rezeki yang mana ia datang dari Dzat yang memerintahkan untuk menegakkan shalat subuh tersebut, jadi bagaimana mungkin engkau meminta sesuatu dari seseorang namun disatu sisi engkau membuatnya tidak suka kepada dirimu?
Maka dari itu, tegaslah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyatakan bahwa meninggalkan shalat subuh merupakan indikasi dari kemunafikan, sebagaimana sabda beliau:
إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Shalat yang dirasakan berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya` dan shalat subuh, sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR Bukhari-Muslim)
Jadi saudara muslimku, sebelum ketika mengukur kekuatan musuh, hendaklah kita mengukur kekuatan diri sendiri terlebih dahulu, dan memperbaiki bagian yang kurang dan meningkatkan mutu sisi yang sudah baik.
Bagaimana mungkin kita dapat kembali melanjutkan ekspansi ke negeri-negeri non muslim, sedangkan kaki terlalu berat untuk dilangkahkan ke masjid yang hanya berjarak sekian meter dari kediaman? Bagaimana mungkin kita dapat menjadi penjaga perbatasan negeri-negeri muslim ditengah malam dingin, sedangkan kita lebih memilih memeluk guling dan bergulung dengan selimut ketika panggilan Hayya ‘Alassalaah sudah dikumandangkan.
Maka untuk menyambut panggilan jihad di negeri para syuhada, selayaknya setiap orang untuk menegakkan jihad atas dirinya, yakni jihad melawan hawa nafsu.
Jadilah pemuda harapan agama dan bangsa, jauhnya perjalanan keliling duniamu, atau bugarnya kesehatanmu, semua itu tidak ada nilainya jika dirimu lemah dalam melaksanakan ketaatan, karena sesungguhnya inti dari penciptaan kita adalah semata-mata untuk beribadah kepada-Nya.
Penulis : Ustdatz Muhammad Hadrami
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Instagram @hisbahnet,
Chanel Youtube Hisbah Tv