Keislaman Amru Bin Ash Radhiallahu Anhu

Setelah pulang dari perang Khandaq (tahun 5 H) dan setelah ayah Amru bin Ash wafat, kaum musyrikin Makkah melihat perubahan sikap pada diri Amru terhadap dakwah Islam. Amru yang dahulunya sangat keras permusuhannya terhadap Islam mulai melunak. Yang dahulunya Amru bin Ash bersegera menolong penduduk Makkah untuk memerangi dakwah Islam, sekarang mulai ogah-ogahan.

Mereka mengirim seorang pemuda menemuinya dan dan menanyakan kepadanya, “Wahai Abu Abdullah! Sesungguhnya kaummu telah menyangka bahwa engkau bersimpati kepada Muhammad?” Amru menjawab, “Wahai keponakanku! Jika engkau ingin mengetahui jawabanku maka temuilah aku di bayangan gunung Hira!”
Rupanya saat keduanya berjumpa di tempat yang panas karena terik matahari, lalu Amru meminta untuk berbicara di tempat yang teduh.

Setelah keduanya berjumpa di tempat yang telah disepakati, Amru berkata kepada pemuda tersebut, “Sesungguhnya aku bersumpah dengan nama Allah, Rabbmu, Rabb orang-orang sebelummu dan Rabb orang-orang sesudahmu, siapakah yang lebih mendapatkan hidayah, kami atau Persia dan Romawi?” Pemuda itu menjawab, “Tentu saja kami.” Amru berkata lagi, “Apa manfaatnya bagimu keutamaan kami atas mereka dalam hal hidayah jika ukurannya dalam hal dunia saja? Persia dan Romawi lebih banyak berkuasa dan lebih banyak menikmati dalam kehidupan dunia. Terbetik dalam hatiku boleh jadi apa yang dikatakan Muhammad tentang adanya hari kebangkitan setelah kematian itu merupakan kebenaran. Agar Allah membalas orang yang berbuat kebaikan atas kebaikannya dan membalas orang yang berbuat keburukan atas keburukannya. Itulah apa yang terbetik dalam pikiranku wahai keponakanku!”

Amru bin Ash belum juga memutuskan untuk masuk Islam, setan dari jin dan manusia masih kuat mempengaruhinya untuk menghalanginya masuk Islam. Sampai di tahun ketujuh Hijriyah, Amru bin Ash berpikir seandainya dakwah Islam semakin kuat dan menguasai Makkah maka dia akan meninggalkan Makkah. Amru ingin tinggal di Habasyah dan meminta perlindungan kepada sahabatnya yaitu Raja Najasyi.

Berangkatlah Amru bin Ash dari Makkah menuju Habasyah. Raja Najasyi menasihati Amru bin Ash untuk masuk Islam dan meyakinkan Amru bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam adalah benar-benar utusan Allah yang akan menyelamatkan manusia dari kesengsaraan di dunia dan azab yang pedih di akhirat.

Sepulang dari Habasyah, Amru bin Ash bergegas untuk hijrah ke Madinah dan masuk Islam di hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Di perjalanan beliau berjumpa dengan Khalid bin Walid yang juga dalam perjalanan ke Madinah untuk masuk Islam. Di hari itu ada tiga orang penting dari Makkah yang masuk Islam, mereka itu Utsman bin Thalhah, Khalid bin Walid dan Amru bin Ash.

Amru bin Ash meminta syarat sebelum membaiat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Syaratnya yaitu agar dosa-dosanya selama ini dihapuskan. Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab bahwa dengan seseorang masuk Islam maka Allah menghapus dosa-dosa sebelumnya dan Allah juga menghapus dosa-dosa orang yang hijrah ke Madinah.

Amru bin Ash radhiallahu anhu pernah ditanya mengapa beliau terlambat masuk Islam? Beliau menjawab, “Aku selalu bergaul dengan orang-orang tua yang cerdas dan matang sejak kecilku. Setiap kali aku mengikuti petuah mereka maka banyak kemudahan yang kudapatkan. Ketika sesepuh Makkah memusuhi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan sahabatnya maka aku tanpa berpikir panjang lagi mengikuti jejak mereka memusuhi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan dakwah Islam. Baru setelah orang-orang tua kami wafat, dan berpindahlah kepemimpinan di tangan kami, saya berpikir dan merenung ternyata apa yang dilakukan oleh sesepuh kami adalah suatu kesalahan fatal. Lalu Allah memberi hidayah kepadaku untuk memeluk Islam dan berjuang untuk menyebarluaskan Islam.”

Pelajaran yang bisa kita petik dari tulisan di atas:

Pertama, seorang muslim harus selalu optimis dalam berdakwah. Manusia itu berproses dan dapat berubah baik ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Manusia yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam) bisa berubah karena faktor keluarga dan lingkungan menjadi orang kafir dan musyrik. Kemudian orang kafir dan memusuhi Islam dengan sangat kerasnya bisa berubah dengan bertaubat dan menjadi muslim serta membela Islam dengan sepenuh hati.

Kedua, seorang muslim tidak memiliki sifat sombong dengan meremehkan orang lain dan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kita tidak tahu akan akhir kehidupan kita, apakah husnul khatimah atau su’ul khatimah? Semoga Allah mewafatkan kita dalam keadaan husnul khatimah. Kita tidak tahu apakah kita menjadi orang yang istiqamah atau orang yang menyimpang di tengah jalan? Wahai Allah Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas rel dienMu.

Ketiga, orang yang berpikir dan merenung serta menggunakan akalnya dengan baik maka ia akan menyimpulkan dan meyakini akan adanya hari pembalasan di akhirat. Tidak mungkin kezaliman-kezaliman yang terjadi di dunia tidak akan dibalas di akhirat. Allah yang Maha Adil akan menghisab hamba-hambaNya sehingga setiap manusia akan memperoleh secara adil dan sempurna hasil perbuatannya yang didasarkan atas pilihannya masing-masing.

Allah berfirman,

إِنَّ ٱلسَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍۭ بِمَا تَسْعَىٰ

“Sesungguhnya hari kiamat akan datang. Aku dengan sengaja merahasiakan (waktunya). Agar setiap jiwa diberi balasan sesuai hasil usahanya.” (Surat Thaha 15)

Keempat, keraguan dan maju mundur untuk masuk Islam banyak dirasakan oleh orang-orang yang mulai berpikir untuk masuk Islam. Allah memberitahukan bahwa para rasul dan pengikut mereka adalah orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan. Allah berfirman,

إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَٰشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Surat Al Anbiya 90)
Boleh jadi datang ajal kepada seseorang sebelum dia menggapai hidayah, maka kerugianlah yang ia peroleh.

Kelima, bersahabat dengan orang yang baik in sya Allah akan menjadi penyebab kebaikan bagi kita. Sahabat yang baik bisa diperoleh di antaranya saat safar seperti persahabatan antara Amru bin Ash dan raja Najasyi.

Keenam, seseorang perlu juga memikirkan kemungkinan terburuk yang akan menimpanya. Dengan demikian dia lebih siap untuk menghadapi dan menyikapi musibah tersebut jika memang terjadi. Tapi yang lebih penting adalah memiliki iman yang kuat, dengan iman lah musibah yang besar sekalipun akan terasa ringan. Seorang muslim akan selalu bersabar, ridha bahkan bersyukur kepada Allah atas setiap musibah yang menimpanya.

Ketujuh, Islam mengajarkan kita untuk menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda. Di antara bentuk menghormati orang yang lebih tua adalah mengikuti pendapat para sesepuh dan cendekiawan apabila tidak meyalahi syariat Islam. Apalagi jika mereka adalah orang-orang yang berilmu dan bertakwa kepada Allah, tentu mengikuti saran mereka lebih utama daripada mengikuti pendapat diri sendiri.

Kedelapan, kita dilarang untuk taklid kepada nenek moyang, mengikuti para pembesar, dan mengikuti kebanyakan orang dalam kemaksiatan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ قَالُوا۟ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۚ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapatkan dari apa yang dikerjakan oleh bapak-bapak kami.” Apakah mereka akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat hidayah?” (Surat Al Maidah 104)

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Surat Al An’aam 116)

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا *
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا *
رَبَّنَا آَتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا *

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.”
Dan mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).”
“Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.”
(Surat Al Ahzab 66-68)

Oleh: Fariq Gasim Anuz
Senin,
9 Rabiul Awal 1442 H /
26 Oktober 2020 M

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *