Keinginan, Langkah Awal untuk Berubah

Allah ta’ala telah menjelaskan kepada manusia jalan hidayah (petunjuk) dan jalan kesesatan, Allah berfirman:

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (QS. Al-Balad: 10)

Dan juga firmanNya:

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. As-Syams: 8)

Diantara kasih sayang Allah kepada hambanya adalah bahwasanya ia tidak hanya menjelaskan jalan petunjuk dan jalan kesesatan, tetapi ia juga memotivasi hambanya untuk selalu menyusuri jalan petunjuk, ia menjelaskan apa yang ada dijalan hidayah daripada rahmat dan berbagai kenikmatan yang Ia berikan. Allah berfirman:

فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 38)

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123)

Allah juga menjelaskan akibat jika seseorang memilih jalan kesesatan, Allah berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى * قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا * قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya,dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.” (QS. Thaha: 124-126)

Kedua jalan ini adalah dua jalan yang tidak ada tiganya; jalan hidayah (petunjuk), atau jalan kesesatan.

Manusia boleh memilih salah satu dari kedua jalan tersebut tanpa ada paksaan, tentunya pilihan ini memerlukan akan adanya keinginan, terutama jika jalan yang dipilih oleh seseorang adalah jalan petunjuk. Banyak orang mengetahui jaln ini namun banyak dari mereka yang tidak berusah untuk mencapainya, karena diri mereka tunduk kepada syahwatnya, sehingga keinginan untuk menempuh jalan hidayah sangatlah minim bahkan nyaris tidak ada, itu menjadikan mereka seakan-akan lumpuh untuk bergerak kejalan hidayah sehingga mereka tidak bisa melangkah untuk menjadi lebih baik.

Kita dapati sebagian orang melakukan maksiat dan ia tahu kalau itu salah, bahkan terkadang ia mengakui kalau dirinya berada dijalan yang salah, namun ia kalah perang melawan nafsunya sehingga ia menjadi tunduk dan mengikuti apa yang diinginkan oleh nafsu. Padahal jika ia memang benar-benar ingin meninggalkan maksiat tersebut ia tidak akan menyerah begitu saja, ia akan berusaha sebisa mungkin untuk meninggalkannya walau dengan perlahan-lahan.

Dari sini kita dapat simpulkan bahwa titik start untuk berubah adalah ‘keinginan’ dari diri sendiri. Banyak orang yang berangan-angan untuk berubah namun tidak memiliki keinginan sama sekali, bahkan ia tidak memikirkan cara untuk berubah sama sekali. Sehingga jika anda katakan kepada mereka, “Berjalanlah di jalan yang lurus, laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, laksanakanlah perintah-perintah Allah, dan tunaikanlah hak-hak manusia kepadamu.” Ia akan menjawab, “Doakan saja semoga Allah memberiku hidayah” atau mengatakan, “Aku belum mendapatkan hidayah.” Kata-kata ini seakan mengesankan bahwa ia memang tidak memiliki keinginan sama sekali untuk merubah diri, melainkan ia menggantungkannya kepada Allah saja tanpa ada usaha.

Allah berfirman:

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لَأَعَدُّو لَهُۥ عُدَّةً

“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu.” (QS. At-Taubah: 46)

Karena itulah keinginan adalah sesuatu yang wajib ada dalam ibadah, keinginan itu adalah ‘niat’ yang tidak sah ibadah tanpanya.

Oleh karena itu ulama berkata, “Niat seseorang lebih sampai dibanding amalnya, dan sesungguhnya seorang hamba dengan niatnya dapat mencapai derajat yang tidak bisa ia capai dengan amalnya.”

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Niat adalah kepala segala urusan, ia merupakan tiang dan pondasi yang segala amal dibangun diatasnya, ia merupakan roh daripada amal, ia juga merupakan pengarah dan penyetirnya, sedangkan amal akan mengikutinya dan dibangun diatasnya. Amal akan benar jika ia benar dan akan rusak jika ia rusak. Dengannyalah taufiq bisa didapatkan, dengan ketiadaannya juga hanya akan mendapatkan kesia-siaan, dan derajat manusia berbeda di dunia dan akhirat tergantung niatnya.” (I’lam Muwaqqiin, 4/199)

Banyak dalil yang menunjukkan kebenaran kaedah yang telah kami sebutkan diatas: “Niat seseorang lebih sampai dibanding amalnya,” diantaranya:

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau meriwayatkan dari Tuhannya, tabaaraka wata’aala. Firman-Nya : “Sesungguhnya Allah telah menetapkan nilai kebaikan dan kejahatan, kemudian Dia menjelaskannya. Maka barangsiapa berniat mengerjakan kebaikan tetapi tidak dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Jika ia berniat untuk berbuat kebaikan lalu ia mengerjakannya, Allah mencatatnya sebagai 10 sampai 700 kali kebaikan atau lebih banyak lagi. Jika ia berniat melakukan kejahatan, tetapi ia tidak mengerjakannya, Allah mencatatkan padanya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia berniat melakukan kejahatan lalu dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kejahatan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

مَنْ سَأَلَ الله تَعَالَى الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

Barangsiapa yang meminta kepada Allah mati syahid dengan tulus, niscaya Allah akan menyampaikannya ke tingkat (tempat tinggal) para syuhada’ walaupun ia meninggal di atas kasurnya.” (HR. Muslim)

Ini menunjukkan akan kebenaran pernyataan ‘Niat seseorang lebih sampai daripada amalnya,’ dan bahwasanya keinginan untuk berubah adalah awal dari perubahan. Al-Qur’an menekankan akan hal ini, Allah berfirman:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّراً نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 53)

Dan juga firmannya:

اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ‏

“…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Diriwayatkan tentang tafsir ayat: “Perubahan berasal dari pihak manusia itu sendiri dan Allah yang memudahkan.”

Seseorang yang ingin mempebaiki dirinya dan memulai dari langkah awal yaitu keinginan yang kuat untuk berubah, kemudian diikuti dengan praktek amal yang baik, maka Allah akan memudahkannya, sedangkan orang yang hanya berangan-angan dan bermimpi untuk menjadi lebih baik tanpa ada keinginan dan usaha yang kuat maka tidak akan sampai kepada apa yang ia inginkan, ia sama halnya dengan orang yang menginginkan harta tanpa usaha dan menunggu turunnya emas dari langit atau menunggu tumbuhnya suatu pohon tanpa ada usaha untuk menanamnya, maka mustahil akan tercapai. Wallahu a’lam.


Sumber: www.almohtasb.com

Penyusun: Arinal Haq

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *