Engkau berbaik sangka kepada hari-hari bila ia baik, dan engkau tidak takut terhadap takdir buruk bagi dirimu. Malam-malam membuatmu merasa tenang. Sehingga membuatmu tertipu, padahal di keheningan malam itulah terjadi hal yang tabu
Usai menyelesaikan studi di SMA, aku mendaftarkan diri untuk masuk perguruan tinggi. Namun, ternyata ada hal baru. Ada seorang pemuda yang sedang studi di Amerika mau melamarku, persetujuanpun terjadi. Aku terpaksa pergi ke negeri asing. Senang sekali rasanya, aku akan hidup di Amerika.
Yang membuatku terheran-heran adalah : Bagaimana bisa secepat ini keluargaku mengalah dan setuju untuk membiarkanku tinggal di negeri asing dalam waktu lama, terlebih lagi mereka tidak mengenal lelaki itu sebelumnya. Sementara umurku masih semuda ini.
Aku menikmati bulan maduku, demikian kata orang. Kami menempati sebuah villa indah di Amerika.
Hari-hari berlalu dengan manis dan indah. Aku menyaksikan sebagian besar tempat di Amerika. Suamiku bertekad agar aku menyaksikan segala-galanya, sehingga aku memiliki wawasan tentang segala sesuatu pula. Namun hari-hari yang bersih itu tidak berlangsung lama. Sesuai penilaianku sekarang, kami dulu berada dalam fase pubertas secara mental. Kami sudah memasuki pasang surut dan tarik menarik dalam kehidupan. Kami sudah meremehkan shalat. satu-satunya harta yang kami miliki adalah, kami harus memiliki wawasan tentang segala sesuatu.
Sebagai kelanjutan dari kerenggangan hubungan kami, suamiku menghabiskan sebagian besar waktunya diluar rumah, terutama di waktu malam.
Selama bertahun-tahun kami belum dianugerahi seorang anak. Tampaknya itulah hal yang semakin meluaskan kerenggangan kami yang terkadang sampai kepada pinggir jurang kehancuran, kehancuran kehidupan rumah tangga kami. Keadaan seperti ini berlangsung terus-menerus.
Ketika kami kembali untuk mengunjungi kampung halaman, keluargaku melihat diriku amat lemah dan kurus. Aku pun menetapkan untuk mengadu kepada ibuku dengan segala cara. Dengan bantuan ibu, gambaran hidupku sepenuhnya dikemukakan kepada ayahku. Ayahku memintaku duduk di sisinya. Ia bertanya kepadaku tentang berbagai hal secara mendetail. Kesemuanya seputar persoalan suamiku, bagaimana sikapnya kepadaku. Dan yang terakhir, sejauh mana komitmennya terhadap agama.
Setelah sesaat ayahku memberiku waktu untuk berfikir, kuputuskan untuk minta cerai. Saya mengira urusan akan begitu mudah, apalagi kami telah berkali-kali sepakat untuk bercerai di Amerika namun suamiku menolak cerai kecuali dengan syarat yang banyak.
Yang paling mudah adalah mengembalikan mahar secara penuh. Setelah bersitegang, berakhirlah hari-hari yang manakutkan itu. Dan yang membuat diriku lebih tidak suka adalah berbagai tuntutannya ketika terjadi perceraian. Padahal aku sudah banyak membantunya untuk menyelesaikan studinya. Aku juga sudah membayar banyak dari uang yang kumiliki, bahkan gajiku secara penuh selama tiga tahun berada di tangannya.
Bagaimanapun juga, segala yang diinginkannya diberikan kepadanya, sebagaimana segala yang kuinginkan sudah terluluskan. Aku pun kembali kepada kehidupan lamaku. Seolah-olah baru saja berlalu sebuah mimpi atau bayangan yang menakutkan.
Seiring dengan dimulainya tahun ajaran baru perguruan tinggi, kukumpulkan semua arsip-arsip dan ijazah lamaku. Aku pun mendaftarkan diri ke perguruan tinggi. Aku bertekad untuk masuk ke fakultas Bahasa Inggris, karena aku sudah menguasainya, setelah tinggal selama bertahun-tahun di negri asing. Namun takdir menentukan lain, aku bertemu dengan salah seorang temanku ketika di SMA. Setelah mengucapkan salam hangat, kami saling menanyakan kabar masing-masing. Aku memberitahukan, bahwa aku sudah membawa semua surat-surat pentingku untuk mendaftarkan diri di fakultas Bahasa Ingris.
Sahabatku itu akan lulus satu tahun ajaran lagi, dari Fakultas Dirasat Islamiyah. Melalui pertemuan kami yang singkat itu, ia mampu meyakinkan diriku untuk ikut bersamanya kuliah di Fakultas Dirasat Islamiyah.
Dari sanalah-demikian ditegaskan oleh sahabatku-banyak pengetahuan yang akan berguna buatmu sebagaimana juga engkau akan berkenalan dengan para mahasiswi fakultas tersebut, kareka aku sudah mengenal mereka. Ada juga berbagai program ekstra kurikuler yang akan kita sukai seperti berbagai ceramah dan seminar-seminar.
Sisi pelajaran ekstra kurikuler itu akan mengembalikan diriku ke masa remaja, karena pada masa itu aku memang menyukai kegiatan-kegiatan semacam itu. Aku bertawakkal kepada Allah, sebagaimana yang dia katakan kepadaku, “Jangan ragu-ragu.”
Dengan sangat cepat yang tidak aku perkirakan sebelumnya, aku pun sudah menjadi anggota yang aktif dalam program kuliah tersebut. Aku turut berpartisipasi menyiapkan berbagai seminar, dan teman-teman yang sekelompok denganku pun merasa senang. Inilah yang tidak aku dapatkan sejak tiga tahun yang lalu.
Kesehatanku kembali pulih, sinar kehidupan kembali menyala pada kedua mataku. Sehingga ibuku dengan suka cita mengatakan,”Tidak ada lagi waktu kosong untuk dirimu ?”
Aku mulai menyusun skripsi dan mempelajari ulang semua kurikulum pelajaranku. Kadang-kadang aku menyempatkan diriku untuk menyampaikan ceramah kepada rekan-rekanku selama sepuluh menit.
Aku kembali memiliki cita-cita yang besar serta tekad yang kuat. Lingkungan yang melingkari diriku membuat diriku tidak lagi membuat diriku tidak lagi melupakan kewajibanku, bahkan mendorong diriku untuk melaksanakan berbagai ibadah sunnah, seperti shalat malam dan puasa sunnah. Aku bersyukur kepada Allah yang telah memberi kemudahan buat diriku untuk memasuki program kuliah ini, karena di situ terdapat teman-teman yang shalihah.
Aku bersepakat dengan rekan-rekanku untuk menghafal Al Qur’an. Itulah hal yang selama ini kuinginkan. Karena aku memang baru memulai memasuki babak kehidupan baru. Pada mulanya, aku khawatir kalau aku tidak bisa konsisten. Akan tetapi Allah memberi kemudahan buat diriku dan menolongku untuk menghafal tanpa mendapat kesulitan. Aku menetapkan untuk berkonsentrasi mempelajari buku-buku akidah dan fikih, sebagaimana aku mulai mengejar ketertinggalanku.
Subhanallah ! Ketika pergi ke Amerika dahulu, aku beranggapan bahwa aku berada dalam puncak kebahagiaan. Namun aku kini menyadari, bahwa jauh dari Allah tidak akan membawa kebahagiaan secara mutlak. Meskipun bentuk kebahagiaan itu tampak secara lahir.
Kegiatanku merambat memasuki rumahku. Saudariku sudah ikut-ikutan menghafal Al Qur’an. Aku juga menyediakan waktu khusus agar dapat membacakan hal-hal yang bermanfaat untuk ibuku, terutama yang berkaitan dengan hukum-hukum kewanitaan. Alhamdulillah, kaset-kaset Islam dalam jumlah banyak dan bermacam-macam terdapat di rumahku. Setiap kali aku pergi untuk mengunjungi seseorang, aku selalu membawa satu paket kaset semacam itu sebagai hadiah. Aku tidak pernah membuat acara yang tidak berguna.
Kehidupanku pun berubah total, aku kini memandang dunia dengan kaca mata baru. Dunia hanyalah tempat persinggahan, bukan tempat yang kekal adanya.
Tidak ada yang mengotori kehidupanku yang jernih itu kecuali mantan suamiku yang kembali dari Amerika setelah menyelesaikan studinya di sana.
Ibunya datang mengunjungi kami untuk meminta maaf dan melupakan masa lalu, ia meminta agar aku kembali kepada mantan suamiku tersebut. Aku mencium kepalanya dan menyatakan bahwa aku sudah melupakan masa laluku dan sudah memaafkan kesalahannya, dengan harapan bahwa Allah juga akan mengampuni diriku. Namun aku menolak permintaannya, meski demikian aku tetap mengantar wanita itu ketika pergi, dengan tidak lupa mengirimkan hadiah untuk mantan suamiku berupa satu paket kaset, yang menganjurkan taubat dan berinstropeksi diri. Selain itu aku juga memberitahukan bahwa aku tidak memiliki waktu selain berkonsentrasi pada studiku.
Aku lupa menyebutkan kepada pembaca, bahwa sudah banyak laki-laki yang datang melamarku. Yang paling menarik hatiku di antara mereka adalah saudara salah seorang sahabat wanitaku.
Namun aku tetap menolak, dan menyatakan bahwa aku sudah berjanji kepada Allah untuk tidak menikah dahulu sebelum aku hafal Al Qur’an seratus persen. Temanku berusaha meyakinkan, namun aku kembali memberitahukan kepadanya bahwa ini adalah akhir tahun pelajaran di perguruan tinggi. Demikian juga merupakan akhir tahun bagi diriku untuk menamatkan hafalan Al Qur’an. Ia terdiam, dan tidak mampu memberikan tanggapan apa-apa.
Usai sudah satu tahun terakhir masa pelajaran. Aku berhasil lulus perguruan tinggi. Aku bercita-cita untuk menjadi asisten dosen di perguruan tinggi itu. Namun takdir menentukan lain.
Aku ditugaskan untuk mengajar di sebuah sekolah dekat rumah kami. Maka kegiatan ekstra kurikulerku pun kuteruskan. Aku menyiapkan jadwal untuk memberikan ceramah kepada para mahasiswi dan juga membuat program hafalan Al Qur’an.
Berbagai urusan di sekolah berjalan dalam kondisi menggembirakan, seolah-olah kami adalah satu keluarga. Pada sore hari itu, datanglah salah seorang teman wanitaku berkunjung. Ia memberitahukan bahwa aku telah berjanji kepadanya untuk mau menikah setelah aku selesai menghafal Al Qur’an, “Sekarang tidak ada alasan bagimu.” Demikian ucapnya.
Aku pun setuju. Semua urusan pernikahan berjalan mulus sesuai dengan tuntunan sunnah. Tidak ada penghamburan harta, pemborosan, maupun pesta-pesta mewah. Suamiku sungguh lelaki yang baik sekali. Bagus akhlaknya, bagus agamanya, dan rajin shalat malam.
Jangan ditanya lagi bagaimana rasanya aku hidup bersamanya. Seolah-olah kami sedang saling menantikan semua ini selama bertahun-tahun. Ia mengatakan, bahwa yang terus mendorong dirinya untuk melamarku adalah kesungguhanku menghafal Al Qur’an.
Segala puji bagi Allah yang telah merubah segalanya. Dari hidup di Amerika dengan wawasan terhadap segala sesuatu, sampai menghafal Al Qur’an. Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmatnya kepadaku sebelum aku meninggal dunia.
Wallahu A’lam
Sumber :
“Az-Zaman al-Qaadim“, karya : Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim (ei, hal. 19-25).
Amar Abdullah bin Syakir
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
❇️ Yuk Donasi Paket Berbuka Puasa Bersama ❇️
Ramadhan 1442 H / 2021 M
📈 TARGET 5000 PORSI
💵 ANGGARAN 1 Porsi Rp 20.000
🔁 Salurkan Donasi Terbaik Anda Melalui
➡ Bank Mandiri Syariah
➡ Kode Bank 451
➡ No Rek 711-330-720-4
➡ A.N : Yayasan Al-Hisbah Bogor
Konfirmasi Transfer via Whatsapp : wa.me/6285798104136
Info Lebih Lanjut 👉 Klik Disini