Kapan Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Gugur?

Dalam syariat Islam suatu kewajiban (taklif) diwajibkan kepada seorang muslim sesuai kemampuannya. Orang yang mampu untuk shalat fardhu berdiri ia wajib berdiri, namun jika tidak mampu ia boleh sambil duduk, dan jika tidak mampu duduk ia boleh dengan berbaring, bahkan jika ia tidak mampu kecuali hanya dengan hatinya saja seperti orang yang lumpuh total maka hanya wajib sholat dengan hatinya.

Allah berfirman:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفسًا إِلَّا وُسعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).

Begitu juga halnya dengan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, ia hukumnya wajib bagi seorang muslim sesuai kemampuannya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه،

وذلك أضعف الإيمان

“Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49).

Dalam hadits ini Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengaitkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dengan kemampuan seseorang. Sehingga tingkatan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar juga tergantung kepada tingkat kemampuan seseorang, dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah. Jika ia mampu untuk mencegah atau melarang suatu kemunkaran dengan tangannya maka wajib baginya untuk bertindak dengan tangannya, jika tidak mampu dengan tangan maka wajib dengan lisannya dengan cara menasehati, jika itu juga tidak mampu maka kewajibannya hanyalah mengingkari dengan hati yaitu dengan membenci perbuatan munkar tersebut. Jika dengan hatipun ia tidak mengingkari, dan ia tidak merasa risih dengan adanya maksiat di sekelilingnya, maka ia berdosa.

Lemah (Tidak mampu) untuk melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar terbagi menjadi dua;

Pertama, ketidakmampuan yang bersifat indrawi (dapat dirasakan oleh badan), misalnya jika badannya lemah atau sakit sehingga ia tidak mampu untuk amar ma’ruf nahi munkar. Keadaan seperti ini dapat dimaklumi dan gugurlah kewajibannya (kecuali mengingkari dengan hati).

Kedua, ketidak mampuan yang maknawi, yaitu jika ia memperkirakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar akan mendatangkan hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya jika seorang muslim hidup ditengah-tengah tetangga-tetangga yang perampok dan peminum minuman keras sedang ia hanya sendirian, lalu ia khawatir jika ia melarang mereka, mereka akan mencelakainya atau merampok hartanya dan dia tidak memiliki kekuatan yang bisa melindunginya, apakah perkiraan seperti itu dapat menggugurkan kewajibannya untuk mengingkari kemunkaran para tetangganya tersebut?? Atau itu hanya perkiraan semata yang belum tentu terjadi sehingga tidak bisa dijadikan ‘udzur untuk meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar??

Jawabannya adalah sebagai berikut; jika apa yang ia khawatirkan kemungkinan terjadinya kuat, misalnya jika ada orang sebelum dia yang pernah berusaha melarang mereka namun ternyata dia malah mereka celakakan, maka dalam keadaan seperti berarti kemungkinan terjadi apa yang dia khawatirkan kuat, sehingga alasan dia tidak amar ma’ruf nahi munkar bisa diterima dan kewajibannya gugur karena dia dalam keadaan seperti itu termasuk orang yang lemah. Tapi jika kemungkinan terjadinya tipis atau 50% maka kewajibannya untuk menasehati mereka tidak gugur.

Dipetik dari: http://www.saaid.net/alsafinh/13.htm#5

Penulis: Arinal Haq

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *