Kaedah Penting Sebelum Mengingkari Kemungkaran


Sebelum melaksankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, sekiranya penting bagi seorang muhtasib untuk memperkirakan dan menimbang mashlahat dan mafsadat dalam mengingkari kemungkaran tersebut. Sehingga ia dapat mengetahui mana hal-hal yang perlu didahulukan, kapan kondisi yang tepat dan kapan tidak tepat, dan bagaimana sikap yang tepat untuk menghadapinya.

Berikut hal-hal penting yang perlu diketahui sebelum mengingkari perbuatan mungkar.

1- Mendahulukan mashlahat primer daripada mashlahat sekunder, dan mendahulukan mashlahat sekunder daripada mashlahat tersier. Dari sini kita ketahui bahwa kedah; “Menolak kerusakan lebih utama daripada mendatangkan kemashlahatan” bukan pada arti yang mutlak, tetapi terikat dengan letak mashlahat dan mudharat tersebut dalam satu tingkatan, sedangkan jika tidak dalam satu tingkatan, maka tingkatan yang lebih penting itulah yang didahulukan, jika mashlahat lebih besar maka diamalkan, jika kerusakan lebih besar maka dicegah.

Yang dimaksud dengan primer disini adalah hal-hal yang harus ada demi lurusnya keberlangsungan hidup manusia seperti; menjaga agama, akal, harga diri, dan harta. Sekunder misalnya tempat-tempat berkunjungnya masyarakat untuk hiburan dll. Dan tersier misalnya yang berhubungan dengan sikap yg baik dan akhlaqul karimah.

2- Mendahulukan mashlahat umum dibanding mashlahat personal jika dalam satu tingkatan, dan ini juga menjelaskan bahwa kaedah; “Mendahulukan mashlahat umum dibanding mashlahat individu” juga bukan pada arti yg mutlak, tetapi ia juga terikat dengan terletaknya kedua mashlahat dalam satu tingkatan.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyebutkan tingkatan-tingkatan efek dari mengingkari kemungkaran:

Pertama: hilangnya suatu kemungkaran dan tergantikannya dengan suatu kebaikan.

Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah tujuan utama seorang muhtasib, yaitu dengan hilang dan sirnanya suatu kemungkaran, sehingga orang yang didakwahi istiqamah dalam kebaikan. Dan disini mashlahat lebih unggul daripada mafsadat.

Kedua: berkurangnya suatu kemungkaran walaupun tidak sepenuhnya hilang.

Yaitu dengan berkurangnya perbuatan mungkar pada diri orang yang di dakwahi dan ihtisab tersebut membuahkan bekas pada dirinya, tetapi bekas ini belum membuatnya meninggalkan kemungkaran sepenuhnya, namun menjadikannya mengurangi perbuatan tersebut, dan disini hampir setara antara mashlahat dan mafsadat.

Ketiga: suatu kemungkaran meninggalkan suatu kemungkaran yang sama dengannya.

Yaitu ketika orang yang didakwahi terus-menerus dalam perbuatan jeleknya dan tidak meninggalkan atau menguranginya, atau dia berpindah dari satu perbuatan mungkar ke perbuatan lain yang sama-sama mungkar.

Keempat: suatu kemungkaran meninggalkan bekas yang lebih parah lagi.

Yaitu ketika seorang pelaku kemungkaran bertambah dalam perbuatan mungkar tersebut dan semakin jauh dari jalan yg lurus.

Kemudian Ibnul Qoyyim menambahkan:

“Kedua derajat pertama diperintahkan dalam ihtisab, sedangkan tingkatan ketiga maka disitu diperlukan kesungguhan dalam berihtisab, dan tingkatan keempat diharamkan.”

Setelah menjelaskan perkataan Ibnul Qoyyim diatas, maka kami simpulkan bahwa dalam ihtisab ukuran mashlahat dan mafsadat antara empat tingkatan berikut:
Pertama         : mashlahat lebih unggul daripada mafsadat.

Kedua            : mafsadat lebih unggul daripada mashlahat.

Ketiga             : mashlahat dan mafsadat sama.

Keempat         : mafsadat semakin parah. (I’lam Muwaqqi’in)

Diringkas dan diterjemahakan dari kitab ‘kun muhtasiban’ karangan Syekh Abdullah bin Ali Al-Ghomidi.


Penyusun: Arinal Haq

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *