Soal :
Jika melihat ‘hilal’ terhalang kabut atau qatr, yakni debu yang terbang bersama angin, pada malam ketigapuluh Sya’ban, apa yang harus diperbuat ?
Jawab :
Menurut pendapat yang terkuat diharamkan berpuasa hari itu. Akan tetapi, apabila (telah) positif menurut “imam” (pemerintah/penguasa) maka wajib berpuasa pada hari itu (maksudnya, keesokan harinya) dan ia pun memerintahkan orang-orang berpuasa, maka ia tidak boleh dibantah. Dan tidak membantahnya terealisasi dengan cara seseorang tidak memperlihatkan tidak berpuasanya pada hari itu dan tidak juga berpuasa secara diam-diam.
Dalil-dalil pendapat yang mengharamkan
1-Sabda Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْه
Janganlah kamu mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari atau dua hari, kecuali memang ada seseorang yang kebetulan berpuasa (sunnah), maka silahkan baginya untuk berpuasa (Muttafaq ‘Alaih)
Jika kebetulan tidak berpuasa, maka berpuasa pada hari yang diragukan ini berarti mendahului Ramadhan dengan satu hari.
2-Sabda Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ
Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan (HR. Muslim)
Sebab, ini termasuk sikap berlebih-lebihan dalam ibadah dan kehati-hatian yang tidak pada tempatnya.
3-Sabda Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- :
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
Satu bulan itu dua puluh sembilan (29) malam. Maka janganlah kamu berpuasa hingga kamu melihatnya (hilal). Jika kamu terhalang kabut dari melihat hilal, maka sempurnakanlah bilangan (bulan) menjadi tiga puluh (30) hari (HR. Al-Bukhari)
Kalimat “Sempurnakanlah bilangan (bulan) menjadi tiga puluh (30) hari” adalah bentuk perintah (amr), dan prinsip dasar suatu perintah (amr) adalah menunjukkan makna wajib. Jika wajib menyempurnakan Sya’ban menjadi tigapuluh (30) hari, maka haram berpuasa pada hari itu. (Mukhtashar asy-Syarh al-Mumti‘, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin)
Sumber :
Dinukil dari, “Shahih Fiqih Wanita“, Dikumpulkan dan disusun oleh : Abu Anas, Shalahuddin Mahmud as-Sa’id (hal. 182-183)
Amar Abdullah bin Syakir