Kita diperintahkan untuk berdakwah agar syiar agama islam tetap tegak kokoh dan terjaga, namun terkadang semangat dakwah yang extra dan tidak diimbangi dengan taqwa & ilmu yang mapan membawa seorang dai kepada penyesatan bahkan pengkafiran secara serampangan kepada pihak lain yang berada diluar pendapatnya.
Memvonis sesesorang dengan vonis sesat atau kafir harus bersumber dari orang yang memenuhi syarat untuk mengeluarkan vonis tersebut dan ditujukan kepada orang yang memenuhi syarat untuk divonis dengan sebutan tersebut. Jika tidak, maka vonis semacam ini akan berbahaya dan dapat memecah belah umat dimana satu sama lain saling menyesatkan dan mengkafirkan hanya karena perbedaan-perbedaan yang sepele.
Sikap ‘ngawur’ ini tak hanya dapat memecah belah umat islam, tetapi bisa sampai kepada tingkat saling membunuh satu sama lain jika mereka meyakini bahwa pihak yang dianggap kafir tersebut halal darahnya. Penyesatan dan pengkafiran secara ‘ngawur’ telah dilakukan oleh kaum Khawarij di zaman Sayyidini Ali radhiyallahu’anhu yang berakhir dengan terbunuhnya Sayyidina Ali di tangan mereka, karena mereka menganggap beliau telah kafir keluar dari islam sehingga darahnya halal untuk ditumpahkan.
Cara ini tentu sangat bertentangan dengan ajaran Rasulullah shallallauh alaihi wa sallam yang bersabda:
أيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَفِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ
Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya (sesama muslim) : ‘Wahai kafir,’ maka pengkafiran ini akan kembali kepada salah satu dari keduanya, jika dia benar dalam pengkafirannya (maka tidak mengapa), tapi jika tidak maka ucapan itu akan kembali kepadanya” [HR Al-Bukhari]
Hadits ini merupakan ancaman bagi orang yang mengkafirkan orang lain sedang orang yang dia kafirkan tidak seperti yang dia katakan. Oleh karena itu kita harus lebih berhati-hati dan tidak mudah menghakimi orang lain dengan kata ‘sesat’ atau ‘kafir’ dan semacamnya.
Namun bukan berarti kita membenarkan semua keyakinan dan kelompok dengan alasan toleransi, sehingga seakan-akan islam tidak memiliki prinsip dan pokok-pokok ajaran yang merupakan pembatas antara yang haq dan yang batil.
Keyakinan yang jelas sesat dan tidak bisa diartikan dengan arti lain yang sesuai dengan akidah ahlussunnah yang lurus harus kita tolak dan kita nyatakan sesat, misalnya orang-orang yang mengatakan bahwa islam, kristen, dan yahudi semuannya benar dan semuanya menuju ke surga, sehingga kita boleh memilih dan bergonta-ganti agama selama kita taat kepada agama yang kita pilih. Atau mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an masih kurang, atau mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Semua keyakinan tersebut jelas menyimpang bahkan sebagian keluar dari agama islam dan tidak boleh kita membenarkannya.
Kesimpulannya kita tidak boleh sembarangan menyesatkan atau mengkafirkan sebelum memahami betul permasalahan-permasalahan yang menjadikan seseorang sesat atau kafir, disaamping kita juga tidak boleh membenarkan semua pendapat dan keyakinan yang beredar dikalangan umat islam dengan dalih toleransi, sebelum memahaminya betul apakah ia masih dalam koridor keyakinan yang benar atau yang keliru.
Wallahu ta’ala a’lam
Penulis Arinal haq