Dari Anas bin Malik-semoga Allah meridhainya-, ia berkata : pada suatu hari Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- mengimami kami. Seusai shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami, lalu, beliau bersabda : wahai manusia, sesungguhnya aku ini adalah imam kalian. Maka, janganlah kalian mendahuluiku ketika ruku’, jangan pula ketika sujud, jangan pula ketika bangkit, jangan pula ketika duduk, jangan pula ketika beranjak. Sesungguhnya, aku dapat melihat kalian dari belakangku. Dan, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andai kalian dapat melihat apa yang dapat aku lihat, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan akan banyak menangis. Anas bin Malik berkata : kami pun kemudian berujar, “Wahai Rasulullah, apakah yang dapat Anda lihat ? beliau menjawab, “ aku dapat melihat Surga dan Neraka (HR. Ibnu Khuzaemah. Diriwayatkan pula oleh Muslim, 4/370-371, hadis no. 960)
@ Ihtisab dalam Hadis :
Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam poin berikut ini :
Pertama, Berihtisab terhadap orang yang mendahului imam ketika melakukan rukuk, atau sujud, atau berdiri dan gerakan yang lainnya dalam shalat.
Kedua, Di antara sifat seorang muhtasib adalah mengikuti imamnya ketika shalat (berjama’ah)
Penjelasan :
- Hadis yang mulia ini menunjukkan wajibnya mengikuti (gerakan) imam, dan bahwa seorang imam adalah qudwah (panutan) dalam melakukan perpindahan-perpindahan ketika shalat, dan seluruh tindakan dan perkataan di dalamnya, maka tidak boleh menyelisihinya. Maka, seorang muhtasib (orang yang beramar ma’ruf nahi munkar) hendaknya menasehati orang yang dilihatnya mendahului imam ketika mengerjakan shalat berjama’ah, dan menjelaskan kepadanya akan haramnya perbuatan tersebut dan ancaman bagi orang yang melakukannya. Sungguh, nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam– telah bersabda, “ Tidak takutkah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah akan mengubah kepalanya dengan kepala keledai (HR. Ibnu Khuzaemah, 3/47, hadis no. 1600, Muslim, 4/371, hadis no. 962). Kesemua ini merupakan penjelasan akan beratnya pengharaman hal tersebut (Syarh Muslim, an-Nawawiy, 4/371). Dan, sabda beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam- “Sesungguhnya seorang imam itu untuk diikuti” (HR. Ibnu Khuzaemah, 3/52, hadis no. 1614, Muslim, 4/353, hadis no. 925) yakni, diteladani dan diikuti, dan di antara keadaan orang yang mengikuti adalah hendaknya ia tidak mendahului orang yang diikutinya, tidak pula membarenginya. Akan tetapi, hendaknya ia segera melakukan tindakan yang sama setelah orang yang diikuti tersebut selesai melakukan tindakan tertentu.
- Sesungguhnya banyak orang yang memandang kepada para pendakwah dan orang-orang yang beramar ma’ruf nahi munkar bahwa mereka adalah suri teladan, dan mereka mengira bahwa perkataan dan tindakan mereka hanyalah merupakan perwujudan bagi petunjuk Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam– oleh karenanya, semestinya mereka bersemangat untuk mengikuti sunnah (tuntutan Nabi) dalam praktek peribadatan yang mereka lakukan. Maka, wajib atas seorang muhtasib untuk tidak mendahului imam saat melakukan ruku’, sujud, bangkit, duduk, atau beranjak. Juga tidak melakukannya bersamaan dengan imamnya, tidak pula tidak bersegera mengerjakannya setelah imamnya selesai dari mengerjakannya. Hendaknya ia mengikutinya. Sungguh telah datang dalam sebuah hadis dari Amr bin Huwairits, ia berkata : aku pernah shalat di belakang Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-, adalah beliau setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ (dan berdiri tegak seperti semula), tak seorang pun di antara kami yang membungkukkan punggungnya sebelum kami melihat Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- telah sempurna sujudnya (HR. Ibnu Khuzaemah, 3/46, hadis no. 1599, al-Bukhari, 2/212, hadis no. 690, Muslim, 4/413, hadis no. 1063, bersumber dari al-bara bin ‘Azib). Demikianlah dulu para sahabat di dalam mengikuti imam mereka, maka dari itu hendaklah para dai dan orang-orang yang bermar ma’ruf nahi munkar meneladani mereka.
Wallahu A’lam
Sumber :
Diterjemahkan dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 120-121
Amar Abdullah bin Syakir