Dari Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, “pernah ketika Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- tengah duduk di masjid beserta para sahabatnya, tiba-tiba datang seorang A’robiy, lalu ia kencing di masjid. (melihat hal tersebut) maka para sahabat beliau berujar, “ Mah..mah (hentikan !). Maka, Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata kepada para sahabatnya : jangan kalian hentikan proses kencingnya !, biarkan ia sampai selesai. Kemudian, beliau memanggil A’robiy tersebut, lalu beliau berujar (kepadanya) : sesungguhnya masjid ini tidak layak dilakukan di dalamnya membuang kotoran dan kencing, atau seperti sabda Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-, masjid ini hanya diperuntukkan sebagai tempat untuk membaca al-Qur’an, Dzikrullah, dan melaksanakan shalat. Lalu, Nabi berkata kepada seorang lelaki dari kaum yang tengah bersama beliau, “ Bangunlah kamu, datangkanlah kepada kami setimba air, lalu guyurkanlah ke tempat yang dikencinginya. Maka, lelaki itu pun kemudian segera membawa setimba air, kemudian mengguyurkannya ke tempat yang dikencingi si A’robiy tersebut. (HR. Ibnu Khuzaemah, diriwayatkan juga oleh Imam Muslim, 3/182, Hadis No. 658)
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa seorang A’robiy kencing di dalam masjid, maka sekonyong-konyong sebagian orang yang tengah berada di dalam masjid tersebut meloncat dan menghampiri si A’robiy (yang tengah kencing tersebut). Namun, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- berujar, “janganlah kalian menghentikan proses kencingnya, kemudian beliau meminta agar didatangkan setimba air, lalu beliau mengguyurkan ke tampat yang dikencingi si A’robiy tersebut (HR. Ibnu Khuzaemah, diriwayatkan juga oleh Imam Muslim,3/182, Hadis No. 657)
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa seorang A’robiy kencing di dalam masjid, maka orang-orang pun segera bangkit menuju kepada si A’robiy untuk mencegahnya. Maka, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada mereka : Biarkan ia sampai selesai terlebih dahulu, guyurkan seember atau setimba air pada tempat yang dikencinginya, sungguh kalian diutus untuk memberikan kemudahan bukan diutus untuk memberikan kesukaran.
(HR. Ibnu Khuzaemah, diriwayatkan juga oleh Imam Al-Bukhari,1/386, Hadis No. 220)
@ Ihtisab di dalam Hadis
Di dalam hadis-hadis di atas terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, diantarnanya adalah beberapa poin berikut ini :
-
Bersegeranya seorang muhtasib untuk melakukan pengingkaran kemunkaran bila mana diyakini bahwa hal tersebut merupakan kemunkaran.
-
Pentingnya “Hikmah” dalam Amar ma’ruf Nahi Munkar
-
Getolnya seorang muhtasib untuk memelihara tempat-tempat ibadah dari segala bentuk kotoran dan benda-benda najis. Demikian pula mengagungkan dan menghormatinya, serta ber-amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang yang menyepelekan hal tersebut.
-
Di antara karakter yang selayaknya dimiliki oleh seorang muhtasib adalah santun, kasih sayang dan akhlak yang baik.
-
Di antara karakter seorang muhtasib adalah memiliki cara pandang jauh kedepan dan respon yang cepat.
& Penjelasan :
Sesungguhnya seorang muhtasib hendaknya bersegera melakkukan tindak pengingkaran teradap perkara yang munkar semenjak kemunculannya, bila mana diyakini bahwa hal tersebut merupakan kemunkaran. Karena, para sahabat Nabi bersegera melakukan pengingkaran terhadap kemunkaran yang dilakukan oleh si A’robiy berupa tindakan kencing di dalam masjid, mereka meyakini bahwa tindakan si A’robiy tersebut merupakan kemunkaran.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata : sesungguhnya pemeliharaan tempat agar bebas dari sesuatu yang najis merupakan perkara yang telah terpatri di dalam jiwa para sahabat, oleh karena itulah mereka bersegera melakukan pengingkaran di hadapan Nabi sebelum meminta izin kepada beliau, disamping itu juga karena telah menjadi ketetapan di benak mereka bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan sebuah tuntutan yang harus dilakukan (Fathul Baariy, 1/388).
Ibnu Daqiq Al-‘Ied rahimahullah mengatakan : penghardikan yang dilakukan orang-orang (para sahabat Nabi) kala itu merupakan bentuk bersegera melakukan tindak pengingkaran terhadap perkara yang munkar bagi yang meyakininya sebagai sebuah kemunkaran (Ihkamu al-Ahkam, Ibu Daqiq Al-‘Ied, 1/83)
Pengingkaran para sahabat terhadap si A’robiy dengan gaya yang demikian itu membutuhkan kepada “hikmah”. Hal demikian itu terlihat cukup kentara kala Nabi memerintahkan mereka untuk segera menghentikan cara mereka tersebut dengan perkataan beliau “ janganlah kalian hentikan ia, biarkanlah ia sampai selesai terlebih dahulu”. Hal demikian itu untuk sebuah kemaslahatan yang lebih besar, yaitu, menolak hal yang lebih besar dari dua buah kerusakan dengan memilih yang termudah dari keduanya, dan mendapatkan maslahat terbesar dari dua maslahat dengan meninggalkan yang paling ringan dari keduanya (Fathul Baariy, 1/388)
Ibnu Daqiq Al-‘Ied mengatakan, “larangan Nabi terhadap apa yang dilakukan orang-orang kala itu berupa hardikan terhadap tindakan si A’robiy, karena bila mana proses kencingnya distop, hal demikian itu akan membahayakan badan si A’robiy tersebut, kerusakan yang ditimbulkan oleh air kencingnya telah terjadi (yakni, menjadikan daerah yang terkana kencing si A’robiy tersebut najis, sehingga tidak sah untuk shalat di tempat terebut), oleh karena itu tidak selayaknya ditambahkan dengan bentuk kerusakan yang lainnya, yaitu, membahayakan badannya. Disamping itu, bila mana ia dihardik sementara ia seorang yang bodoh (belum mengetahui hukum kencing di masjid), niscaya hal tersebut dapat mengakibatkan tempat lain dari bagian masjid terkena najis pula. Berbeda jika si A’robiy tersebut dibiarkan terlebih dahulu hingga selesai proses kencingnya, niscaya najisnya tidak menyebar ke tempat lain (Ihkam al-Ahkam, Ibnu Daqiq Al’ied, 1/83)
Seorang mulim wajib untuk menghormati masjid-masjid dan mengagungkannya, dan menjauhkannya dari segala bentuk kotoran dan najis, ludah dan lain sebagainya, dan seorang muhtasib tentunya lebih berhak untuk melakukan hal tersebut. Hendaknya ia memberikan penjelasan kepada kaum muslimin tentang hal tersebut, bahwa masjid-masjid itu adalah rumah-rumah Allah, merupakan tempat yang paling mulia dan suci. Hendaknya pula ia berusaha untuk mengingkari setiap orang yang menyepelekan masalah menghormati kemulian masjid, baik pelakunya melakukan penodaan secara sengaja, sadar ataupun karena ketidakmengertiannya. Hal tersebut tentu dilakukan sesuai dengan kondisi masing-masing. Hal itu karena, para sahabat Nabi mereka bersegera melakukan pengingkaran terhadap si A’robiy ketika ia kencing di dalam masjid, karena meyakini bahwa tindakan si A’robiy tersebut merupakan kemunkaran. Ibnu Khuzaemah –semoga Allah merahmatinya- mengatakan : di dalam hadis ini terdapat larangan melakukan tindakan kencing di dalam masjid-masjid dan mengotorinya. Dan hadis ini, di dalamnya terdapat isyarat untuk menjaga dan melindungi masjid-masjid dan menjaganya dari segala bentuk kotoran, ludah, dan yang lainnya, dan bahwa wajib (hukumnya) untuk menghormati dan mengagungkannya (al-Mufhim, al-Qurthubiy, 1/544, Ihkamu al-Ahkam, ibnu Daqiq Al-‘Ied, Syarah Shahih Muslim, An-Nawawiy, 3/182)
Sesunguhnya, tindakan Nabi terhadap si A’robiy tersebut menunjukkan kebagusan akhlak dan kelembutan beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- serta kasih sayang beliau terhadap orang yang belum mengerti. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar : di dalamnya terdapat bentuk kasih sayang Nabi dan kebagusan akhlak beliau -sehallallahu ‘alaihi wasallam- (Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 1/388)
Sungguh, beliau memerintahkan para sahabat untuk membiarkan terlebih dahulu si A’robiy hingga selesai dari kencingnya agar tidak menjadikannya sakit (dan agar najisnya tidak kemana-mana), setelah itu barulah beliau memanggil si A’robiy tersebut dan beliau memberikan penjelasan kepadanya dengan penuh kelembutan, kasih sayang dan akhlak yang mulia, bahwa masid-masjid ini tidak layak terkena kotoran dan kencing, masjid-masjid ini hanya layak untuk dijadikan sebagai tempat membaca al-Qur’an, Dzikrullah dan Shalat.
Berkata Imam An-Nawawi –semoga Allah merahmatinya- : di dalamnya terdapat sikap kasih sayang terhadap seorang yang belum mengerti, mengajarinya sesuatu yang harus diketahuinya tanpa bersikap keras terhadapnya, tidak pula menyakitinya bila mana ia melakukan perkara yang menyelisihi syariat tersebut bukan karena kesengajaan atau penentangan (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 3/181, dan lihat juga, Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 1/388)
Tindakan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap si A’robiy tersebut juga menunjukkan cara pandang Nabi yang jauh ke depan, di mana Beliau tahu bahwa si laki-laki yang datang (ke masjid tersebut ) ia datang dari kampung, ia belum mengerti banyak tentang hukum-hukum seputar masjid, dan tidaklah yang dilakukan si A’robiy tersebut karena sengaja menentang. Berkata Ibnu Daqiq Al-‘Ied tetang hal tersebut, “ (ini menununjukkan kepada) jauhnya pandang Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- dan pemahaman beliau terhadap tabiat-tabiat manusia (Ihkam al-Ahkam, Ibnu Daqiq al-‘Ied, 1/83; dan lihat juga, Taisiir al-‘Allam, al-Bassam, 1/73)
Wallahu a’lam
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Banyak mengambil faedah dari “ al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaemah”, karya : Abdul Wahab bin Muhammad bin Fayi’ ‘Usairiy, hal. 37-41 (dengan ringkasan)