Dari Mush’ab bin Sa’d[1] , ia berkata : ketika aku ruku’ aku meletakkan kedua telapak tanganku di antara kedua lututku. Maka, Abu Sa’d melihatku, lalu beliau melarangku (dari tindakanku tersebut), seraya mengatakan : dulu kami pernah melakukan hal seperti itu kemudian kami dilarang melakukan tindakan tersebut, kemudian kami diperintahkan untuk mengangkat kedua telapak tangan kami sampai lutut. [2]
- Ihtisab di dalam Hadis
Dalam hadis di atas terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat dipetik yang terkait dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya yang terangkum dalam poin berikut ini :
Pertama, berihtisab kepada orang yang mengumpulkan jemari tangannya dan meletakkannya di antara kedua lututnya ketika ruku’.
Kedua, Perhatian seorang muhtasib terhadap kondisi orang yang ditegakkan kepadanya amar ma’ruf nahi munkar
@ Penjelasan :
- Pernah para sahabat –semoga Allah meridhai mereka semuanya- meletakkan tangan-tangan mereka di antara lutut-lutut mereka ketika ruku’, lalu Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang mereka dari melakukan tindakan tersebut. Dan, beliau menjelaskan bahwa yang sunnah ketika ruku’ adalah meletakkan telapak tangan di atas lutut.
Ini menunjukkan bahwa tindakan mengumpulkan jemari tangan dan meletakkannya di antara lutut ketika ruku’ terlarang. Tindakan tersebut dihapuskan. Imam at-Tirmidzi mengatakan, “yang diamalkan adalah ini menurut kalangan para ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi, para ta’bi’in dan generasi setelah mereka, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka tentang hal tersebut, melainkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan sebagian sahabat lainnya bahwasanya mereka pernah melakukannya [3]. Dalil yang menunjukkan bahwa tindakan yang pernah mereka lakukan tersebut terhapus adalah perkataan Sa’d : dulu kami pernah melakukan hal seperti itu kemudian kami dilarang melakukan tindakan tersebut, kemudian kami diperintahkan untuk mengangkat kedua telapak tangan kami sampai lutut.” Ungkapannya ini dihukumi marfu’ sampai kepada Rasulullah, dan pernyataan ini merupakan pernyataan yang cukup jelas bahwa apa yang dulu mereka lakukan telah dihapuskan.
Oleh kerenanya, tidak boleh meletakkan telapak tangan di antara lutut ketika ruku’, dan seorang muhtasib berkewajiban untuk mengingkari orang yang dilihatnya melakukan tindakan meletakkan kedua tangannya di antara lutut. Mengajarkan kepadanya yang sunnah dalam hal tersebut. Ini banyak terjadi di kalangan anak-anak kecil. Maka, wajib seorang muhtasib mengajari anak-anaknya tata cara yang benar ketika ruku’. Dan bila mana melihat anak-anak melakukan tindakan meletakkan tangannya di antara lututnya ketika ruku’ hendaknya ia mengajari mereka sunnah yang dituntunkan dalam hal tersebut, agar mereka terbiasa melakukan tata cara shalat dengan benar semenjak kecil.
- Sesunguhnya seorang muhtasib yang bijaksana bersemangat untuk memberikan petunjuk dan membimbing kepada manusia, mempergauli mereka dengan cara yang patut dan akhlak yang baik, serta bermuamalah secara baik, karena di sela-sela tindakannya sersebut ia bertujuan berihtisab, menerapkan syariat Allah dengan cara menjauhkan mereka dari hal-hal yang diharamkan dan mendorong mereka untuk melakukan ketaatan dan beragam kebaikan. Hal ini tidak mungkin terwujud melainkan bila mana orang yang berihtisab tersebut baik muamalahnya dengan orang lain, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang muda, berlemah lembut terhadapnya dan memberikan setiap hak kepada pihak yang berhak mendapatkannya, memperhatikan kondisi setiap mereka, karena di antara mereka ada yang masih bodoh, ada yang lupa, ada juga yang barang kali belum sampai kepadanya larangan atau perintah dalam hal tertentu.
Sesungguhnya Ibnu Mas’ud pernah melakukan tindakan meletakkan tangan di antara lulutnya ketika ruku’ dalam sahalat dan beliau juga menyuruh orang lain untuk melakukannya. Akan tetapi, sebagian ulama yang menjelaskan tentang hal itu memberikan uzur bagi beliau dengan alasan boleh jadi belum sampai kepada beliau berita yang menghapus tindakannya tersebut. Imam an-Nawawi mengatakan : Madzhab kami dan madzhab para ulama seluruhnya adalah bahwa yang sunnah adalah meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut (saat ruku’) dan tidak disukainya (makruhnya) tindakan meleakkan tangan di antara kedua lutut (ketika ruku’), kecuali Ibnu Mas’ud dan kedua sahabatnya; ‘Alqamah dan al-Aswad, mereka mengatakan bahwa yang sunnah adalah meletakkan tangan di antara kedua lutut (saat) ruku’, hal demikian itu dilakukannya (atau menajdi pendapat mereka) karena belum sampai kepada mereka hal (riwayat) yang menghapuskan tindakan mereka tersebut, yaitu, hadis Sa’d bin Abi Waqqash –semoga Allah meridhainya-. Dan, pendapat yang benar (dalam hal ini) adalah yang menjadi pendapat Jumhur (mayoritas ulama) karena valid adanya riwayat yang menghapusnya yang sedemikian jelas. [4]
Demikianlah seorang muhtasib wajib untuk mencari alasan, barulah kemudian ia membimbing dan mengajari dengan cara yang baik. Hal ini tidak berarti bahwa seorang muhtasib menunda-nunda dalam menunaikan kewajibannya. Bahkan, hendaknya ia berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mengerahkan segenap kekuatannya, agar manusia tidak ada yang terhalangi untuk menerapkan syariat Allah azza wajalla.
Wallahu a’lam
Penulis : Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Al-Ihtisab Fii Shahih Ibni Khuzaaemah, Abdul Wahhab bin Muhammad bin Fa-yi’ ‘Usairiy (hal.99-100)
[1] Beliau adalah Abu Zurarah Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash al-Qurasyi az-Zuhriy, al-Madiniy. Ibnu Sa’d mengatakan : Beliau seorang yang kredibel banyak meriwayatkan hadis. Beliau meninggal dunia tahun 103 H. Lihat, Tahdziibu al-Kamal,7/120, Siyar A’lam an-Nubala, 4/350
[2] Diriwayatkan juga oleh Imam al-Bukhari, 2/319, hadis no. 790, Muslim,5/22, hadis no. 1197
[3] Sunan at-Tirmidzi, 2/44
[4] Syarh Muslim, an-Nawawi, 5/18