Pembaca yang budiman, di antara petunjuk nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berupa tindakan beliau dalam mengisi 10 hari terakhir bulan Ramadhan adalah beri’tikaf.
Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim ]
Senada dengan perkataan Aisyah, Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ya, beliau ber’itikaf, beliau mendiami untuk beribadah kepada Allah, maka perkara ini merupakan perkara yang disyariatkan bagi kita Ummat beliau, meskipun perkara ini hukumnya tidak wajib.
Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab beliau Al-Ijma’ mengatakan,
وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه
“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.” (Al Ijma’ hlm. 7; Asy Syamilah)
Namun, sangat boleh jadi hukumnya berubah menjadi wajib apabila seseorang bernadzar -misalnya- untuk melakukan I’tikaf. Karena memenuhi nazar ketaatan hukumnya wajib. Inilah yang menjadi pendapat An-Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar, semoga Allah merahmati keduanya.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan,
فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع
“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.” (Al Majmu’ 6/475; Asy Syamilah)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.” (Fath al-Baari 4/271)
Saudaraku, apa yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, -yakni : beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan ramadahan tentunya terkandung banyak hikmah.
Imam Ibn al-Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Allah mensyariatkan i’tikaf yang bertujuan agar hati dan kekuatannya fokus untuk beribadah kepada-Nya, berkhalwat dengan-Nya, memutus diri dari kesibukan dengan makhluk dan hanya sibuk menghadap kepada-Nya. Sehingga, berdzikir, kecintaan, dan menghadap kepada-Nya menjadi ganti semua faktor yang mampu memperkeruh hati. Begitupula, kesedihan dan kekeruhan hati justru akan akan terhapus dengan mengingat-Nya dan berfikir bagaimana cara untuk meraih ridha-Nya dan bagaimana melakukan amalan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Berkhalwat dengan-Nya menjadi ganti dari kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena (mengharapkan) kelembutan-Nya pada hari yang mengerikan di alam kubur, tatkala tidak ada lagi yang mampu berbuat lembut kepadanya dan tidak ada lagi yang mampu menolong (dirinya) selain Allah. Inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu.” (Zaad al-Ma’ad 2/82).
Saudaraku, bila Anda I’tikaf 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka Anda dianjurkan untuk masuk ke dalam masjid ketika matahari terbenam pada malam ke-21 Ramadhan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada para sahabat,
مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِى فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ
“Barangsiapa yang (ingin) beri’tikaf, hendaknya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari: 1923)
Sepuluh hari terakhir dimulai pada malam ke-21 Ramadhan, karena permulaan hari dalam pengertian syariat adalah dengan tenggelamnya matahari bukan dengan terbitnya matahari.
Adapun hadis ‘Aisyah yang menuturkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
“Apabila rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin beri’tikaf, beliau melaksanakan shalat Subuh kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.” (HR. Muslim: 1172)
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sebenarnya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah lebih dahulu beri’tikaf di masjid. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tersebut bukanlah menunjukkan Nabi memulai I’tikaf pada saat itu, namun Nabi sebenarnya telah beri’tikaf dan tinggal di masjid sebelum waktu Maghrib, tatkala beliau melaksanakan shalat Subuh (pada hari setelahnya) barulah beliau menyendiri di tempat I’tikaf yang khusus dibuatkan untuk beliau (mu’takaf).” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/207)
Kemudian Anda mengakhiri I’tikaf Anda apabila bulan Ramadhan telah berakhir, dan bulan Ramadhan berakhir ketika matahari terbenam pada malam ‘Ied. Dan, yang utama bagi Anda adalah Anda tidak pulang kerumah terlebih dahulu, yakni : Anda tetap berada di dalam masjid (pada malam ‘ied) hingga pagi hari kemudian Anda keluar untuk menghadiri Shalat ‘Ied bersama manusia.
Hal-hal yang dilarang :
1) Jima’ (bersetubuh)
Allah ta’ala berfirman,
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i’tikaf dalam mesjid.” (QS. Al Baqarah: 187).
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan,
بين جل تعالى أن الجماع يفسد الاعتكاف واجمع أهل العلم على أن من جامع امرأته وهو معتكف عامدا لذلك في فرجها أنه مفسد لاعتكافه
“Allah ta’ala menjelaskan bahwa berjima’ membatalkan i’tikaf dan para ulama telah bersepakat ahwa seorang yang berjima’ dengan istrinya secara sengaja sementara dia sedang ber-i’tikaf, maka dia telah membatalkan i’tikafnya.” (Al Jami’ li Ahkamil Quran 2/324)
Ibnu Hazm mengatakan, “Mereka (para ulama) sepakat jima’ membatalkan i’tikaf.” (Maratibul Ijma’ hlm. 41)
2) Keluar dari Masjid Kecuali jika ada uzur syar’I atau hendak menunaikan kebutuhan yang mendesak
Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepala beliau ke dalam kamarku, sementara beliau berada di dalam masjid, dan saya pun menyisirnya. Beliau tidak akan masuk ke dalam rumah ketika sedang ber-i’tikaf, kecuali ada kebutuhan mendesak.” (HR. Bukhari : 1925; Muslim : 297)
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa mu’takif yang keluar dari tempat i’tikafnya di dalam masjid tanpa ada kebutuhan yang mendesak, tidak pula karena darurat, atau melakukan suatu perkara kebaikan yang diperintahkan atau dianjurkan, maka i’tikaf yang dilakukannya telah batal.” (Maratibul Ijma’ hlm. 48)
Hal-hal yang hendaknya dilakukan :
1) Memperbanyak ibadah mahdhah
Seperti shalat, membaca Al-Quran, dzikir, dan ibadah yang semisal. Berbagai ibadah ini dapat membantu Anda untuk merealisasikan tujuan dan hikmah I’tikaf, yaitu memfokuskan hati dalam beribadah kepada-Nya dan memutus kesibukan dengan makhluk.
2) Melakukan ibadah muta’addiyah (ibadah yang berdampak sosial) bilamana sifatnya wajib, seperti mengeluarkan zakat, amar ma’ruf nahi mungkar, membalas salam, memberi fatwa, dan yang semisal.
3) Membuat Sekat atau Tenda di dalam Masjid, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.
4) Meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat
Hal-hal yang boleh dilakukan :
1) Minum, Makan, dan Tidur
2) Dikunjungi Keluarga
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita. Dan, semoga Shalawat dan salam tercurah kepada nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.
Penyusun : Ustadz Abu Umair
Artikel : www.hisbah.net
Gabung juga di Fans Page kami hisbah.net