عن سفيان بن عبد الله رضي الله عنه قال: قلت يا رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ. قال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُلْ: آمَنْتُ بِاللَّهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Dari Sufyan bin Abdullah -semoga Allah meridhainya-, ia berkata, aku pernah berkata, wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sebuah perkataan tentang Islam yang aku tidak akan bertanya tentangnya kepada seorang pun selain Anda. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ucapkanlah, ‘aku beriman kepada Allah kemudian beristiqamahlah’.” (HR. Muslim, no. 38)
* * *
Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa seorang hamba diperintahkan untuk beristiqamah melakukan ketaatan setelah beriman kapada Allah, dengan mengerjakan perkara yang diperintahkan dan menjauhi perkara yang dilarang. Dan, yang demikian itu adalah dengan melazimi menempuh jalan yang lurus, yaityu agama yang lurus, tanpa menyimpang darinya baik ke kanan ataupun ke kiri.
Bila mana seorang muslim telah hidup sepanjang bulan Ramadhan, ia mengisi waktu siangnya dengan berpuasa, malam harinya dengan qiyamullail. Ia membiasakan dirinya untuk melakukan kebaikan, maka sudah selayaknya hendaknya ia melazimi ketaatan kepada Allah selalu. Inilah kondisi semestinya seorang hamba, karena rabb semua bulan itu adalah satu, Dia senantiasa mengetahui hamba-hambaNya dan menyaksikan mereka.
Sesunngguhnya keistiqamahan seorang muslim -setelah berlalunya bulan Ramadhan-, begitu pula halnya dengan baiknya ucapan-ucapannya dan tindakan-tindkannya merupakan dalil terbesar yang menunjukkan bahwa dirinya benar-benar mengambil faedah dari bulan Ramadhan. Kesukaannya untuk senantiasa dalam ketaatan, merupakan pertanda diterimanya amal yang dilakukannya serta merupakn tanda pula sebuah keberuntungan. Amal seorang mukmin tidaklah berhenti dengan keluarnya suatu bulan dan masuknya suatu bulan yang lainnya. Bahkan, amalnya tersebut terus bersambung hingga ajal menjemput nyawanya. Allah ta’ala berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah rabbmu hingga datang kepadamu sesuatu yang diyakinin (yakni, kematian).” (QS. Al-Hijr : 99)
Meski qiyam Ramadhan waktunya telah berlalu, sesungguhnya waktu sepanjang tahun seluruhnya merupakan waktu yang dapat dimanfaatkan untuk qiyamullail. Meski waktu untuk berzakat fithri, sesungguhnya waktu untuk menunaikan zakat yang wajib lainnya dan sedekah yang sunnah senantiasa terbuka waktunya sepanjang tahun. Demikian pula halnya dengan membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya, mensedekahkan sebagaian harta, demikian pula halnya dengan setiap amal shaleh diharuskan untuk dilakukan pada setiap waktu.
Sungguh termask karunia Allah terhadap hamba-hambaNya adalah banyaknya pintu-pintu ketaatan dan beraneka ragamnya jalan-jalan kebaikan-kebaikan. Hal demikian adalah semangat seorang muslim terus membara dan tetap senantiasa dalam kondisi berkhidmah kepada rabbnya.
Termasuk perkara yang disayangkan adalah bahwa sebagian orang melakukan peribadatan di bulan ramadhan dengan berbagai bentuk ketaatan, selalu menjaga pelaksanaan shalat fardhu lima waktu di masjid, banyak membaca Al-Qur’an, banyak menyedekahkan sebagian harta mereka, namun telah berlalunya ramadhan mereka bermalas-malasan untuk melakukan ketaatan, bahkan boleh jadi ada yang kemudian sampai meninggalkan perkara yang wajib dilakukannya, seperti (meninggalkan) shalat berjama’ah secara umum terlebih shalat Subuh khususnya. Tidak jarang di antara mereka ada juga yang melakukan perkara yang diharamkan, seperti meninggalkan shalat, asik bercengkerama dengan alat permaiman yang melalaikan dan alat musik, menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepadaNya. Maka, mereka menghancurkan apa yang telah mereka bangun sebelumnya. Melepaskan pintalan yang telah mereka rajut. Ini merupakan dalil yang menunjukkan diharamkannya pelakunya dari mendapatkan kebaikan dan merupakan pertanda kerugian. Kita mohon kepada Allah keselamatan dan keistiqamahan di atas jalan kebaikan.
Sungguh, seperti mereka itu menganggap bahwa taubat dan meninggalkan kemaksiatan hanya bersifat temporal yaitu pada bulan Ramadhan saja. Hal tersebut berhenti dengan telah usainya bulan Ramadhan, seakan-akan mereka meninggalkan dosa karena bulan ramadhan bukan karena takut kepada Allah ta’ala. Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah kecuali pada bulan Ramadhan saja.
Sungguh taufiq (bimbingan) yang diberikan Allah kepada hambaNya untuk dapat melakukan puasa ramadhan secara baik, begitu pula bantuannya kepada hambaNya untuk melakukan hal tersebut merupakan nikmat yang agung, yang mengharuskan seorang hamba untuk bersyukur kepada rabbnya, memuji dan menyanjungNya, makna ungkapan ini terisyarat dalam firman Allah ta’ala setelah menyebutkan kesempurnaan nikmat puasa, Dia berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaknya kalian menyempurnakan bilangan dan mengagungkan Allah atas apa yang ditunjukkan kepada kalian dan agar kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqarah : 185)
Dan di antara bentuk kesyukuran kepadaNya adalah dengan berpuasa seusai Ramadhan, melakukan amal amal shaleh. Adapun membalas nikmat taufiq dapat berpuasa pada bulan ramadhan dengan melakukan kemaksiatan sesudahnya, malas untuk melakukan shalat secara berjama’ah. Maka, hal sepertini merupakan bentuk dari mengganti nikmat dengan keingkaran. Maka, siapa yang melakukan hal tersebut ia tengah berada dalam bahaya yang besar.
Sesungguhnya jalan hidup yang benar seorang muslim adalah memuji rabbnya dan bersyukur kepadaNya atas nikmat (dapat melakukan) puasa dan qiyamullail dan keadaannya setelah ramadhan lebih baik daripada keaadaann sebelum Ramadhan, selalu melaksanakan ketaatan dan menyukai kebaikan, besegera melaksanakan kewajiban, mengambil pelajaran secara baik dari pendidikan ramadhan yang istimewa, khawatir kalau puasa yang telah dilakukannya tidak diterima, karena Allah ta’ala hanya menerima amal dari orang-orang yang bertakwa.
Sungguh para salaf (genderasi) terdahulu yang baik bersungguh-sungguh dalam menyempurnakan amal dan melakukannya dengan baik , setelah itu mereka sedemikian berharap agar amal yang telah mereka lakukan tersebut diterima, mereka takut amal yang telah dilakukannya ditolak. Di antara atsar Ali –semoga Allah meridhainya-, ia berkata,
كونوا لقبول العمل أشدّ اهتماماً منكم بالعمل. ألم تسمعوا الله عز وجل يقول: إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Jadikanlah urusan diterimanya amal lebih sangat diperhatikan daripada daripada amal yang kalian lakukan. Belumkah kalian mendengar Allah azza wajalla berfirman, (artinya), Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Maidah : 27).
Aisyah -semoga Allah meridhainya- berkata, aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang ayat ini,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut” (QS. Al-Mukminun : 60), Aisyah mengatakan, apakah mereka itu adalah orang-orang yang pernah meminum khamer dan pernah mencuri harta orang lain? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “bukan”, wahai anak perempuannya as-Siddiq, akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang gemar berpuasa, shalat dan besedekah sementara mereka menghawatirkan amal yang telah mereka lakukan tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam (melakukan) kebaikan dan mereka untuk melakukan hal itu pun salang berlomba (HR. at-Tirmidzi, 9/19, dan perkataannya أولئك الذين demikian ini dalam riwayat At-Tirmidzi, sementara redaksi dalam al-Qur’an adalah أولئك يسارعون hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani (Shahih at-Tirmidzi 3/79, 80)
Oleh kerana itu, hendaklah waspada dari terjadinya sikap yang berkebalikan setelah seseorang mendapatkan hidayah, waspadalah pula dari kebengkokan setelah keistiqamahan. Demi Allah, hendaklah seseorang selalu melakukan amal shaleh, berkesinambungan melakukan kebaikan dan hendaknya pula seseorang memohon khusnul khatimah kepada Allah ta’ala.
Ya Allah, bangunkanlah kami dari tidur dalam kelalaian, ingatkan kami untuk selalu dapat memanfaatkan waktu secara baik, bimbinglah kami untuk dapat melakukan perkara-perkara yang akan memberikan kemaslahatan kepada kami, jagalah kami dari melakukan dosa dan keburukan, mudahkanlah kami mendayagunakan seluruh anggota badan kami untuk melakukan ketaatan kepadaMu. Jadikanlah kami sebagai orang yang mendapatkan petunjuk dan memberikan petunjuk kepada kebaikan, bukan menjadi orang-orang yang sesat lagi menyesatkan.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sumber : Ahaadiitsu Ash Shiyam; Ahkaamun wa Aadaabun, (Pasal 12: Maa Ba’da Ramadhan, Hadis Kedua : الاستقامة بعد رمضان karya : Abdullah bin Sholeh al-Fauzan, Dosen di al-Imam Muhammad bin Sa’ud Islamic University, Cabang Qosim, KSA.
(Amar Abdullah/hisbah.net)
Ikuti update artikel Hisbah.net di Fans Page Hisbah
Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet