Amar ma’ruf nahi munkar merupakan suatu ibadah yang mulia, ibadah ini erat kaitannya dengan interaksi dengan orang lain karena manusia adalah makhluk sosial, sehingga seorang muhtasib[1] harus mengetahui cara yang bijak dalam berihtisab sehingga orang yang ia ajak bisa menerimanya. Seorang muhtasib hendaknya mendahulukan orang terdekat dalam ber-ihtisab[2], yaitu family dan sanak saudara karena Allah ta’ala memerintahkan kita untuk menjaga keluarga dan diri kita dari api neraka, Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Orang terdekat kepada kita dalam keluarga adalah orangtua, sehingga Allah mewajibkan kepada setiap anak untuk berbakti kepada orangtua. Salah satu bentuk bakti seorang anak kepada orangtua adalah tidak membiarkan mereka berlarut-larut dalam kemaksiatan ketika keduanya berbuat maksiat, tetapi hendaknya bagi seorang anak untuk mengajak dan mengajari kepada mereka yang benar dengan penuh hormat dan kelembutan, sehingga ia menjadi sebab ridhonya Allah kepada orangtua atau terjauhnya mereka dari kemurkaan Allah ta’ala.
Al-Qur’an telah menyebutkan contoh ihtisab seorang anak kepada orangtua, misalnya dalam kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan ayahnya yang menyembah berhala dalam banyak ayat yang semuanya menunjukkan betapa lembut dan sopannya kata-kata Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepadanya. Walaupun hasilnya nihil, bahkan beliau diusir oleh ayahnya namun itu semua tidak mengurangi rasa hormat beliau kepadanya.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang seorang yang ibunya banyak melakukan kesalahan dalam shalat dan wudhu.
Beliau menjawab: Hendaknya ia menyerunya dan mengajarinya.
Ia berkata; “Tapi ibunya tidak mau diajari, dan selalu berkata, ‘Kamu mau mengajari saya sedangkan saya lebih tua?’ Apakah anda setuju jika ia meniggalkan ibunya atau memukulnya karena hal itu?”
Beliau menjawab; “Tidak, tapi hendaknya ia mengajarinya…” Kemudian beliau memerintahkannya untuk mengajari ibunya dengan cara-cara lembut.[3]
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum berihtisab kepada orang tua:
Pertama
melihat mashlahat dan mafsadat atau memikirkan sebab-akibat sebelum amar ma’ruf nahi munkar kepada mereka, jika ihtisab kepada mereka akan menyebabkan kemashlahatan maka tidak ada alasan untuk tidak melaksanakannya, namun jika akan menyebabkan mafsadat atau kemungkaran yang lebih besar maka disitu kita berhenti sejenak dan melihat moment yang lebih tepat, atau melalui orang yang sekiranya nasehatnya bisa diterima oleh orang tua untuk menyampaikan kepada keduanya.
Kedua
kita harus berbakti kepada mereka semampu kita dengan menghormati keduanya dan menaati seluruh perintah keduanya selama bukan perbuatan maksiat, serta menampakkan perilaku yang baik sehingga mereka ridho dan mudah untuk menerima nasehat dari kita.
Ketiga
carilah keadaan atau moment yang tepat, sampaikanlah ketika orang tua sedang sendirian dan tidak di depan orang lain. Karena nasehat yang baik namun disampaikan di moment yang tidak tepat akan menyebabkan mafsadat yang lebih besar.
Keempat
menyampaikan kepada keduanya dengan kata-kata baik, lembut dan hormat dan menjauhi kata-kata yang berkesan ‘mengajari,’ karena kata-kata tersebut akan menyebabkan penolakan.
Kelima
selalu berdoa kepada Allah ta’ala untuk kebaikan mereka, agar mereka diberikan hidayah. Karena seperti apapun kita berusaha untuk mengajak orang tua, hidayah tetap milik Allah, dan ia memberikannya kepada siapa yang ia kehendaki.
Jika orang tua menerima apa yang kita sampaikan maka bersyukurlah kepada Allah yang telah memberi mereka hidayah serta doakanlah mereka agar Allah senantiasa memberi mereka ketegaran untuk tetap istiqomah dalam dalan yang lurus.
Jika orang tua menolak dan bersikeras dalam maksiatnya maka hal berikut yang harus dilakukan:
1) Berhenti untuk memberi mereka masukan agar tidak memperparah keadaan, setidaknya kita telah melaksanakan kewajiban.
2) Teruslah berbuat baik kepada keduanya dan taatilah perintahnya selama tidak dalam kemaksiatan, karena mungkin hal itu akan membuat hati orang tua luluh.
3) Jadilah teladan yang baik melalui perbuatan dan perkataan, karena seringkali seseorang lebih terpengaruh kepada perbuatan dibanding kata-kata.
4) Jika memungkinkan cobalah minta tolong kepada orang terpercaya yang perkataannya bisa diterima oleh orang tua dan bisa menjaga rahasia untuk menyampaikan kepada orang tua.
5) Senantiasalah mendoakan orang tua agar mereka diberikan hidayah oleh Allah subhanu wata’ala.
Setelah kita melaksanakan kewajiban kita dalam ber-ihtisab kepada orang tua, sisanya kita serahkan kepada Allah, namun satu hal yang wajib kita laksanakan dalam keadaan apapun, yaitu; berbakti dan berbuat baik kepada orang tua.
Allah ta’ala berfirman:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (١٥)
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Lukman: 15
Penulis: Arinal Haq
Murojaah : Imam Jamal Sodik, S.Pd.I
Artikel : www.hisbah.net
[1] Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
[2] Ber-amar ma’ruf nahi munkar.
[3] Masail Imam Ahmad, karya Abu Dawud hal. 279.