Salah satu syarat terpenting dalam menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah ikhlas lillahi ta’ala. Bahkan ikhlash harus disertakan dalam setiap amal ibadah. Ikhlash adalah mengesakan Allah sebagai maksud satu-satunya dalam beribadah. Atau dalam definisi lain adalah memurnikan maksud ibadah untuk menggapai pahala dan ridha Allah ta’ala.
Ikhlash bagaikan roh dalam setiap amal ibadah, amalan yang dianggap besar oleh manusia sama sekali tidak berbobot di sisi Allah ta’ala jika tidak disertai dengan roh tersebut.
Ikhlas adalah amalan yang terdapat di lubuk hati seseorang, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah subhanahu wata’ala. Namun buah dari keikhlasan tersebut dapat tampak telihat dalam perbuatan seorang muhtasib.
Ikhlash adalah salah satu cabang taqwa dan salah satu syarat diterimanya ibadah. Syaikh Salim Bin Ied Al-Hilali berkata dalam kitab Manhajul Anbiya’ Fii tazkiyatin Nufuus, “Dan ikhlas juga adalah salah satu syarat agar kita mampu menjadi pribadi yang bertaqwa, karena sesungguhnya ikhlas adalah rukun taqwa yang pertama. Ikhlas didahulukan sebelum Ittiba’ dan Ilmu.”
Keikhlasan memiliki pengaruh besar dalam setiap amal. Boleh jadi dua orang yang secara zhohir ibadahnya sama, namun nilai ibadah mereka bisa berbeda di sisi Allah ta’ala karena tingkatan keikhlasan mereka berbeda.
Banyak sekali nash yang menganjurkan kita untuk menjaga keikhlasan dalam beribadah. Diantaranya firman Allah:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Lawan kata ikhlash adalah riya’, yaitu beribadah dengan maksud mendapatkan pujian dari orang lain. Beramal tanpa ikhlas dapat mengurangi pahala suatu ibadah bahkan bisa menggugurkan seluruhnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda dalam hadits qudsi yang beliau riwayatkan dari Rabbnya (Allah ta’ala):
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku adalah Rabb yang sangat tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang ia sekutukan Aku dengan yang lainnya, maka Aku tinggalkan ia dengan amal syiriknya tersebut.” (HR. Muslim)
Fudhail bin Iyadh berkata dalam menafsirkan ayat berikut:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
“Yang dimaksud adalah yang paling murni dan paling benar. Murid-muridnya bertanya, “Wahai Abu Ali, apa yang dimaksud yang paling murni dan paling benar?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya suatu amalan yang dilaksanakan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak sesuai syariat) tidak diterima. Dan jika pelaksanaannya benar namun tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia melaksanakan ibadahnya dengan benar dan disertai dengan ikhlas. Yang dimaksud dengan ikhlas adalah ia beramal karena Allah, dan yang dimaksud dengan benar adalah sesuai sunnah.”
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ثَلَاثُ خِصَالٍ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ : إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلهِ، والنصح لأئمة المسلمين ، وَلُزُوْمُ جماعتهم
“Ada tiga hal yang dengannya hati seorang muslim akan bersih (dari khianat, dengki, dan keburukan) yaitu beramal dengan ikhlas karena Allâh ‘azza wajalla, menasihati pemimpin kaum muslimin dan berpegang teguh pada jamâ’ah kaum mereka..” (HR. Ahmad)
Maka hendaklah seorang muhtasib memperhatikan selalu niatnya, agar amal yang ia laksanakan berbuah dan mendapatkan pahala disisi Allah ta’ala. Jika sewaktu-waktu terbesit dalam hatinya rasa riya’ agar mendapatkan pujian orang atau semacamnya, hendaknya ia segera beristighfar dan membaca ta’awudz agar terlindung dari godaan syetan. Jangan sampai amalannya sia-sia dikarenakan ia tidak ikhlas dalam melaksanakannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya…” (Muttafaq Alaih)
Sumber: “Haqiqah Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘Anil Munkar” karya Dr. Hamad Al-Ammar hal. 76-77 dengan tambahan.
Penyusun : Arinal Haq
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah.net
Twitter @hisbahnet, Google+ Hisbahnet