Syeikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum dai yang melihat kemungkaran namun ia mendiamkannya dengan niat akan mencegahnya di lain waktu (menundanya).
Beliau menjawab:
“Menunda seperti itu bisa jadi boleh jika kemungkaran tersebut sangat kuat dan susah untuk langsung dicegah dalam tahap pertama, sedangkan disitu ada kemungkaran yang lebih besar dan dai tersebut bermaksud untuk memulai dari yang lebih besar dulu dengan harapan nantinya bisa diterima oleh pihak yang bersangkutan, lalu kemudian ia kembali lagi kepada kemungkaran yang lebih kecil.
Misalnya seperti yang diceritakan oleh seorang dai bahwa ia pernah mendatangi daerah yang masih diliputi oleh kebodohan tentang agama, sehingga mereka menyembah kuburan, membolehkan zina, minuman keras, menghisap rokok, ganja dan lain-lain.
Maka mulailah dai ini berdakwah mengajak mereka belajar Al-Qur’an dan mentadabburinya, dan ia mulai menepis kesyirikan dan segala hal yang mengantarkan kepadanya. Sementara itu ia masih mendiamkan mereka menghisap rokok, mengonsumsi ganja dan perempuan yang ber-tabarruj (berpakaian yang tidak menutup aurat) karena saat itu hal-hal tersebut masih susah dihindari.
Sehingga ketika mereka mulai mengetahui hukum halal dan haram mereka berhenti dari segala maksiat tersebut dengan sendirinya atau kalau tidak, ia menjelaskan kepada mereka hukumnya dan apa saja mafsadat yang diakibatkan oleh perbuatan-perbuatan tersebut, dan itu membuat mereka bertaubat dan meninggalkan segala jenis maksiat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah melewati orang-orang yang bermain catur dan judi sedang beliau membiarkan mereka dengan alasan jika mereka dilarang dari permainan tersebut mereka akan mencari kesibukan lain yang lebih bahaya, misalnya merampok, maka dalam keadaan seperti ini dibolehkan diam terhadap sebagian kemungkaran yang ada, dengan niat akan meluruskannya dengan cara yang lebih bijak.
Sedangkan jika seorang dai berdiam diri dengan adanya kemungkaran padahal ia mampu untuk merubahnya dengan nasehat dan arahan maka tidak dibolehkan jika tidak memiliki alasan, misalnya ia berniat untuk mendatangi mereka di lain waktu. Karena jika demikian, diamnya dai tersebut akan menjadi alasan bagi para pelaku maksiat, sehingga mereka bisa mengatakan, “kami melakukan maksiat ini pada saat ulama fulan ada dan ia membiarkan kami.” Dengan demikian kemungkaran tersebut akan semakin kuat dan susah untuk diluruskan.
Walaupun seandainya kemungkaran tersebut termasuk dosa-dosa kecil, atau hal-hal yang dianggap sepele oleh masyarakat umum, namun dalam menunda pengingkarannya harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
- Hendaknya ‘Menunda pengingkaran’ -dalam keadaan apapun- tidak berarti membatalkan niat untuk mengingkari, tetapi hendaklah anda berniat dalam hati akan mengingkarinya di lain waktu dan pada kondisi yang tepat.
- Ketika orang yang didakwahi benar-benar tidak siap untuk dinasehati saat itu. Sehingga tidak dibenarkan menunda pengingkaran hanya karena membayangkan mafsadat yang akan terjadi, misalnya anda mengatakan bahwa ia akan menghindar atau tidak mampu menerima, atau tidak akan kuat menerimanya. Siapa tahu ia bahkan akan mengucapkan kepada anda, “terimakasih atas nasehatnya,” atau bahkan mungkin dia akan menegur anda atau dai selain anda dan mengatakan “kenapa kalian tidak dari dulu membimbing saya?.”
- Sebagaimana juga tidak boleh jika diam diri anda terhadap suatu kemungkaran akan menjadikan mereka memahami bahwa itu bentuk penyetujuan anda. Dan hal ini diantara hal-hal yang nantinya akan menyulitkan pengingkaran. Dan pengingkaran akan lebih penting lagi ketika anda ditanya tentang hukum, maka ketika anda ditanya hukumnya anda harus menjelaskannya (maka tidak boleh menunda penjelasan dari waktunya ketika ).
Diterjemahkan dari kitab “Kun Muhtasiban, Musabaqatun Ihtisabiyatun Wamulhaqaatuha”, Karya Syaikh Abdullah bin ‘Ali bin Abdullah Al-Ghomidi, hal. 180-182.
Penerjemah: Arinal Haq
Artikel : www.hisbah.net