Riba Ba’i (Jual Beli) diharamkan dalam rangka menutup celah terjadinya riba dayn. Karena riba fadhl ukurannya berbeda namun tunai dan riba nasiah tidak tunai namun ukurannya sama. Hal ini merupakan celah untuk terjadinya riba besar yaitu riba dayn yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Karena hakikat riba dayn adalah gabungan dari fadhl dan nasiah di mana terdapat ukuran yang tidak sama dan tidak tunai.
Misalnya, orang yang memberikan kredit sebanyak 10 juta rupiah dengan persyaratan dikembalikan 11 juta rupiah, pada hakikatnya ia telah menggabungkan riba fadhl dan riba nasiah. Menukar barang yang sejenis dan satu illat dengan ukuran berbeda dan tidak tunai. Karena itu riba Ba’i (Jual Beli) diharamkan agar tidak terjadi riba yang besar yaitu riba dayn.
Untuk 4 komoditi makanan, hikmah diharamkannya riba bai’ menurut Ibnu Rusyd agar orang-orang tidak hidup secara bermewah-mewahan. Karena fungsi dari 4 komoditi tersebut sama, yaitu makanan. Maka orang-orang yang ingin hidup mewah menginginkan kwalitas makanannya melebihi orang kebanyakan. Apabila dilarang menukar dengan cara yang berbeda takarannya, tentu mereka tidak akan melakukannya (Bidayatul Mujtahid, jilid III, hal.152)
Khusus untuk emas dan perak yang dahulu merupakan mata uang utama, sebagian para ulama menjelaskan hikmah lain dari pelarangan riba Ba’i (Jual Beli).
Al Ghazali (wafat : 505 H) berkata, “Orang yang melakukan transaksi riba pada Dinar dan Dirham sungguh ia telah kufur nikmat dan berbuat kezaliman. Karena Dinar dan Dirham diciptakan sebagai media dan bukan tujuan, maka bila diperdagangkan dia akan menjadi komoditi dan tujuan, hal ini bertentangan dengan tujuan semula uang diciptakan. Oleh karena itu, tidak dibolehkan menjual Dirham dengan Dirham yang berbeda nominalnya dan tidak dibolehkan menjualnya berjangka (tidak tunai), hal ini dapat mencegah orang-orang untuk menjadikannya sebagai komoditi dan para pedagang tidak akan melakukan hal ini untuk meraup keuntungan (Ihyaa ulumuddin, jilid IV, hal. 88)
Ibnu Taimiyah (wafat : 728) berkata, “Uang bertujuan sebagai alat tukar untuk mengetahui nilai suatu barang, dan bukan bertujuan untuk dimanfaatkan zatnya. Maka bila uang ditukar dengan uang dengan cara berjangka ini berarti uang telah digunakan sebagai komoditi dagang yang bertentangan dengan tujuan semula uang dibuat(Majmu’ fatawa, jilid XIX, hal. 152)
Sungguh menakjubkan dua ucapan ulama besar Islam abad pertengahan ini tentang kaidah dalam sistem moneter!
Bila diabaikan seperti yang terjadi di masa sekarang, dimana para ekonom modern melegalkan jual beli uang yang sejenis atau yang berbeda jenis tanpa menghiraukan kaidah riba, sehingga uang berubah menjadi komoditi. Yang tentu berakibat nilai sebuah mata uang selalu berfluktuasi dalam setiap saat bagaikan barang sesuai dengan kaidah “Supply dan demand” (permintaan dan penawaran). Bila nilai uang tidak tetap maka fungsi uang sebagai standar nilai barang tidak bisa dipertahankan. Bahkan yang terjadi sebaliknya uang dalam bentuk utang diikat dengan standar harga barang (indeks harga barang) maka yang menjadi alat tukar adalah barang bukan uang. Hal ini, pada akhirnya akan menimbulkan kezaliman kepada seluruh pemegang uang.
Misalnya, seseorang menyimpan uang hasil jerih payah bekerja bertahun-tahun sebanyak 30 juta rupiah untuk membiayai pendidikan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Namun, pada tahun saat dia membutuhkan biaya pendidikan untuk anaknya, ternyata jumlah uang tersebut sama sekali tidak cukup untuk membiayai kuliah anaknya. Hal ini disebabkan nilai uang yang ia kumpulkan turun terkena imbas fluktuasi.
Apa dosa bapak yang malang ini sehingga uangnya menjadi tidak berharga seperti semula?
Siapa yang memakannya sehingga nilainya berkurang?
Siapa yang harus bertanggung jawab atas kezhaliman ini?
Jawabannya adalah bahwa di antara faktor yang menyebabkan turunnya nilai uang tersebut adalah riba Ba’i (Jual Beli) yang dilakukan oleh para pelaku perdagangan valuta dengan tanpa mengindahkan kaidah syariat dalam jual- beli uang.
Wallahu A’lam
Sumber :
Harta Haram Muamalat Kontenporer, Dr. Erwandi Tarmizi, MA. Penerbit : P.T. Berkat Mulia Insani, Bogor, Cetakan Keempat, April 2013, hal. 466-468.
Amar Abdullah bin Syakir
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor