Ketika taubat dinyatakan sebagai kembalinya seorang hamba kepada Allah dengan menghindari jalan orang-orang yang mendapat murka dan orang-orang sesat, maka hal itu tidak akan terealisasi kecuali dengan mendapatkan petunjuk Allah dengan menempuh jalan yang lurus. Sementara itu, hidayah tidak akan didapat kecuali dengan meminta pertolongannya dengan terlebih dahulu mengesakannya. Hal ini sudah tersistemisasi dalam surat Al Fatihah dengan sangat apik dan terkandung dalam maknanya yang sangat dalam. Oleh karenanya, barang siapa yang memenuhi hak-hak surat tersebut sesuai proporsinya-memahami maknanya, membuktikan kebenarannya, diliputi rasa kilatan ilahiyah, dan makrifat kepada Allah.
Maka ia akan tahu bahwa membacanya dengan maksud beribadah belumlah mencukupi kecuali ia melakukan taubat nasuha. Ini disebabkan, petunjuk ke jalan yang lurus tidak akan diraih secara maksimal sementara dirinya buta dengan dosa atau justru ia terus menerus melakukan dosa. Pertama, kebutaannya akan dosa sangat bertentangan dengan pengetahuannya akan hidayah. Kedua, terus menerus melakukan dosa keterlaluan namanya, dan hal ini sangat bertentangan sekali dengan maksud dan tekadnya untuk menggapai hidayah. Dengan demikian, dinamakan taubat apabila seseorang telah tahu akan dosanya, mau mengakuinya, serta memohon agar dihindarkan dari akibat buruk perbuatan dosanya.
Syaikh Al Anshari berkata dalam Manazil as-Saa’irin :
“Maksiat itu dapat diketahui dengan tiga parameter. Pertama, engkau terlepas dari penjagaan ketika melakukannya. Kedua, engkau merasa senang saat melakukannya. Ketiga, engkau terus menerus melakukannya tanpa ada usaha untuk memperbaikinya. Namun pada saat yang sama, engkau juga yakin bahwa Al Haq (Allah ﷻ) selalu mengawasimu.”
Besar kemungkinan, maksud “lepas dari penjagaan” adalah melepaskan diri dari berpegang teguh terhadap agama Allah. Mestinya, apabila seseorang berpegang teguh terhadap agama Allah niscaya ia tidak akan sampai keluar dari hidayah yang dalam hal ini adalah ketaatan terhadap perintah dan larangannya. Allah berfirman,
وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Barang siapa yang berpegang teguh dengan (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus (Qs. Ali Imran : 101)
Dengan kata lain, apabila seseorang berpegang teguh dengan maksimal terhadap agama Allah, niscaya ia tidak akan menjadi pecundang untuk selamanya. Allah berfirman
وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Dan berpeganglah kamu pada agama Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung (Qs. Al Hajj : 78). Maksudnya, jika engkau berpegang teguh kepada agama Allah niscaya Dia akan melindungimu dan akan memenangkanmu atas hawa nafsumu dan rayuan setan. Sebab, setan dan nafsu adalah dua musuh yang akan selalu bersama manusia. Memerangi dua musuh ini lebih berat daripada memerangi musuh luar. Menang dari dua musuh ini sangatlah penting. Terlebih bagi seorang hamba, sangat membutuhkan kemenangan ini. Kemenangan yang maksimal tergantung semaksimal apa seorang hamba berpegang teguh dengan agama Allah.
Bisa juga, maksud “lepas dari penjagaan” adalah Allah melepaskan penjagaannya dari dirimu. Buktinya, Anda hanya akan melakukan dosa ketika Anda telah melepaskan diiri dari taubat yang selama ini menjaga Anda dari perbuatan dosa. Nah, ketika keterlepasan diri dan besarnya bahaya yang ditimbulkannya diketahui dengan baik, namun di saat yang sama ia juga semakin jauh, dan ia juga sadar bahwa jika dilanjutkan akan semakin mendekatkan kepada kebinasaan, maka pada titik inilah seseorang disebut dengan “pecundang” besar. Allah tidak akan membiarkan antara dirimu dan dosamu kecuali dosa itu telah mengalahkanmu. Andai Allah menjagamu dan memberimu taufik, mestinya dosa tidak akan menemukan jalan untuk masuk dalam dirimu.
Para ahli makrifat sepakat bahwa orang pecundang adalah ketika Allah menyerahkan dirinya kepada nafsunya, dan Dia membiarkan orang tersebut larut dalam nafsunya.
Untuk mengompromikan dua pengertian yang bertentangan ini, maka orang pecundang adalah orang yang diserahkan oleh Allah kepada nafsunya. Sementara, apabila Allah membiarkan seseorang hanyut dengan nafsunya hingga ia keok, maka Dia mempunyai hikmah dan rahasia yang hanya Dia sendiri yang tahu. Namun demikian, yang jelas berhasilnya sebuah taubat tergantung sejauh mana Anda berpegang teguh kepada agama Allah dan sejauh mana penjagaan Allah kepada Anda.
Adapun bunyi matan selanjutnya adalah “engkau merasa senang saat melakukannya”.
Senang melakukan maksiat adalah tanda bahwa ia sangat cenderung terhadap maksiat itu. Di saat yang sama, rasa senang ini juga menunjukkan bahwa ia buta dengan kekuasaan Dzat yang ia durhakai. Ia juga tidak tahu besarnya mara bahaya akibat perbuatannya itu, yaitu akibat rasa senang yang telah membuatnya buta. Rasa senang melakukan maksiat ini tentunya lebih berbahaya daripada melakukan maksiat itu sendiri. Sementara, seorang mukmin, untuk selamanya, bukanlah orang yang merasa nikmat ketika ia melakukan maksiat. Kalaupun ia merasa senang, hal itu bukanlah rasa senang yang sesungguhnya. Bahkan sebaliknya, ia melakukan maksiat itu dengan kesedihan yang bercampur aduk di hatinya. Hanya saja saat melakukan maksiat itu seorang mukmin sedang dilanda “mabuk syahwat” yang menutupi rasa sedihnya. Nah, apabila di hati pelaku maksiat sudah tidak ada ruang lagi bagi rasa sedih itu, bahkan ia semakin senang dan gembira, maka keimanannya patut diragukan. Orang seperti ini hendaknya menangis karena kematian hatinya. Sebab, andai kata hati itu hidup, mestinya ia bersedih atas dosa yang dilakukannya. Hati itu akan marah dan sulit baginya untuk menuruti perbuatan maksiat. Namun apa hendak dikata, hati itu kini telah mati rasa, dan tatkala hati sudah mati rasa, luka di hati pun tidak ada dirasa. Ibarat orang yang sudah mati, luka sebesar apa pun tidak akan membuatnya kesakitan.
Terhadap kesimpulan seperti ini, sangat jarang sekali orang yang mau mengerti dan sadar, padahal inilah kondisi yang paling mengerikan. Jika tidak segera disusuli dengan tiga perkara, niscaya hal ini akan menghempaskan seseorang pada kebinasaan. Tiga perkara itu adalah : (1) rasa cemas mengalami matinya hati sebelum bertaubat, (2) rasa sesal karena melakukan pelanggaran terhadap perintah Allah, dan (3) kebulatan tekad untuk menebus dan memperbaiki.
Adapun bunyi matan selanjutnya adalah “engkau terus menerus melakukannya tanpa ada usaha untuk memperbaikinya”.
Al Israr maknanya konstan dalam melakukan pelanggaran dan bertekad untuk mengulanginya lagi. Ini saja sudah merupakan dosa tersendiri yang bobotnya lebih besar daripada dosa sebelumnya. Inilah hukuman yang diterima dari sebuah dosa. Artinya, sebuah dosa akan melahirkan dosa-dosa lain yang lebih berat hingga berakhir dalam kebinasaan. Konstan melakukan perbuatan dosa adalah dosa tersendiri. Adapun berdiam diri dengan tidak memperbaiki maksiat yang telah dilakukan merupakan sikap konstan dan ridha terhadap perbuatan maksiat, bahkan ini juga berarti ia merasa tentram dengan maksiat yang dilakukannya. Namun yang lebih parah dari semua itu adalah melakukan dosa secara terang-terangan, padahal ia yakin bahwa Allah selalu mengawasinya, namun ia tetap melakukannya secara terang-terangan maka alangkah besar dosanya itu. Tetapi, apabila ia tidak mengimani bahwa Allah selalu mengawasinya dan ia tetap mempertontonkan dosanya maka dia telah kafir dan telah keluar dari Islam.
Kesimpulannya, orang yang menekuni perbuatan dosa tidak keluar dari dua kemungkinan. Pertama, adakalanya ia tak punya malu sehingga ia mengabaikan pengawasan Allah. Kedua, adakalanya orang itu telah menjadi kafir sehingga ia keluar dari agama Islam. Maka dari itu, dalam taubat, mutlak disyaratkan adanya sebuah keyakinan bahwa Allah selalu mengawasi dirinya tatkala ia melakukan maksiat. Sebab, taubat tidak akan diterima dari orang Non Muslim. Adapun orang yang mengingkari pengawasan Allah dan menentang kepadanya, maka taubatnya adalah dengan cara memeluk islam serta mengakui sifat-sifat Allah [1]
Wallahu A’lam
[1] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hakikat taubat adalah kembali kepada Allah. Sementara proses kembali ini tidak akan sah dan sempurna melainkan dengan makrifat kepada Allah beserta sifat-sifatnya sekaligus mengetahui dampak sifat tersebut pada diri dan jagat raya. Di samping itu, seorang yang benar-benar bertaubat juga harus sadar bahwa selama ini ia telah lari dari rengkuhan Tuhannya dan berbalik menjadi tawanan dan tunduk kepada musuhnya. Ia juga harus sadar bahwa dirinya tercengkeram di antara taring-taring musuhnya itu disebabkan oleh kebutaannya akan tuhan dan oleh keberaniannya menentang perintah dan larangannya. Maka dari itu, ia juga harus tahu jawaban dari pertanyaan ini : kenapa hatinya buta? Sejak kapan hatinya itu buta? Mengapa ia menjadi tawanan musuhnya? Sudah berapa lama ia menjadi tawanan? Di samping itu ia juga harus paham bahwa taubat adalah sebuah proyek maha berat yang membutuhkan tekad dan kesungguhan yang besar, perlu ekstra kesadaran yang sangat tinggi agar bisa kembali ke rengkuhan Rabb yang Maha Pengasih lagi Penyayang untuk menemukan jalan pulang dan kembali dari jalan kebinasaan yang telah direntangkan oleh musuhnya. Pada saat yang bersamaan, seorang yang benar-benar bertaubat juga harus tahu seberapa besar tenaga dan kesungguhan yang ia curahkan untuk menggilas arah yang melintang selama perjalanan menuju shiratal mustaqim
Sumber :
At-Taubatu Wal Inabah, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Pentahqiq : Dr. Muhammad Umar Al Hajj (ei, hal.3-6)
Amar Abdullah bin Syakir
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor
❇️ Yuk Donasi Paket Berbuka Puasa Bersama ❇️
Ramadhan 1442 H / 2021 M
📈 TARGET 5000 PORSI
💵 ANGGARAN 1 Porsi Rp 20.000
🔁 Salurkan Donasi Terbaik Anda Melalui
➡ Bank Mandiri Syariah
➡ Kode Bank 451
➡ No Rek 711-330-720-4
➡ A.N : Yayasan Al-Hisbah Bogor
Konfirmasi Transfer via Whatsapp : wa.me/6285798104136
Info Lebih Lanjut 👉 Klik Disini