Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوْا مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهَا قَالُوْا وَمَا حَقُّ الطَّرِيْقِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ
Hindarilah oleh kalian duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka menjawab, “Kami tidak bisa meninggalkannya karena itu adalah majelis tempat kami biasa berbincang-bincang.” Beliau bersabda, “Kalau kalian tetap bersikeras untuk tetap duduk di sana, maka berikanlah hak-hak jalan.” Mereka bertanya, “Apakah hak-hak jalan itu, wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab : “Menundukkan pandangan, menyingkirkan gangguan, menjawab salam, menyeru kepada kebaikan, dan mencegah kemunkaran (HR. al-Bukhari, 2465 dan Muslim, no. 2121)
Tidak jarang, di antara kita yang enggan menyingkirkan ganggung di jalan. Baik, gangguan yang bersifat fisik atau yang termasuk ke dalam cakupan maknanya. Boleh jadi karena ketidak tahuan kita. Padahal, cakupan makna “menyingkirkan gangguan dari jalan “ tidak sebatas sesuatu yang bersifat fisik, sebagaimana kata para ulama.
Pertahatikan kata Imam an-Nawawi ini, ‘Termasuk kedalam cakupan makna “menyingkirkan gangguan dari jalan “ adalah menjauhkan diri dari perbuatan ‘menggunjing orang lain, berperasangka buruk, meremehkan atau merendahkan orang-orang yang tengah lalu lalang dan menjauhkan diri dari tindakan mempersempit jalan, atau hal-hal lain yang akan menimbulkan ketakutan atau yang akan menghalangi kelancaran lalu lalang aktifitas mereka karena mereka tidak mendapati jalan untuk lewat melainkan tempat tersebut (Syarh an-Nawawiy ‘Ala Muslim, 7/235).