Gay Lebih Parah dan Lebih Buruk dari Zina

Luthiy, dia adalah orang yang melakukan tindak kekejian pada anus seorang lelaki. Dinamakan dengan ‘luthiy ‘ sebagai penisbatan kepada kaum Luth; karena kaum Luth –kita berlindung kepada Allah- merekalah orang yang pertama kali melakukan tindakan keji  di alam semesta ini. Berkata Nabi mereka kepada mereka,

{أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ} [الأعراف: 80] ،

“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” (al-A’raf : 80)

Dan tindakan keji ini lebih parah dan lebih buruk daripada zina ; karena zina merupakan tindakan keji terhadap vagina yang dibolehkan pada sebagian waktu. Akan tetapi, tindakan keji yang dilakukan pada lobang anus tidak diperbolehkan selamanya.

Oleh karena ini, Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman tentang zina,

{وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً} [الإسراء: 32]

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (al-isra : 32)



Sementara Luth mengatakan kepada kaumnya,

{أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ}

“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu.

«ال» (pada kata الْفَاحِشَةَ) menunjukkan bahwa tindakan buruk ini telah mengumpulkan kekejian seluruhnya. Tindakan keji yang sangat besar tersebut tidak ada lagi kekejian di atasnya. Dan, ini merupakan perkara yang disepakati di antara manusia, bahwa keburukan tindakan keji ini lebih besar daripada keburukan zina. Lantas, apa hukuman tindakan keji ini ?

Pengarang mengatakan : «كزان» seperti pezina. Maka, hukuman untuk tindakan keji ini adalah hukuman untuk pezina. Jika pelakunya telah menikah, maka ia dirajam sampai mati. Dan jika pelakunya belum menikah, maka ia didera dan diasingkan.

Adapun argumentasi mereka bahwa hukuman tindakan keji ini seperti yang diberlakukan terhadap pezina, mereka mengatakan, ‘karena ini merupakan ‘tindakan keji’ dan tentang zina, Allah menamakannya pula dengan ‘tindakan keji’. Bila mana hal tersebut demikian, maka kita memberlakukan (hukuman untuk tidakan keji yang ini) sebagaimana hukuman yang diberlakukan terhadap pelaku tindakan keji yang kedua (yakni, zina). Jadi, hukumannya adalah hukuman pezina.

Sebagian ulama mengatakan : hukumannya, ‘dibunuh.’ Dan ini adalah pendapat tertinggi yang dikatakan terkait dengan hukuman tindakan keji ini.



Kemudian mereka berbeda pendapat tentang bagaimana cara pelaku tindakan keji ini dibunuh ?

Yang lain mengatakan, ‘Bahkan pelaku tindakan keji ini diberikan sangsi dengan sangsi hukuman yang tidak sampai pada hukuman had.

Yang lain mengatakan, ‘Pelakunya tidak diberi sangsi hukuman dan tidak ada sesuatu pun yang harus diberlakukan kepadanya. Hal ini tidak berarti bahwa perbuatan tersebut halal. Akan tetapi, tidak ada dalam kasus ini hukuman, cukup dengan bahwa jiwa menolak perbuatan tersebut. Karena jiwa itu membenci (tidak menyukai) tindakan tersebut.

Maka, andai kata seseorang disuguhkan makanannya berupa tinja dan urin, lantas ia makan tinja itu dan ia pun minum urin itu ! niscaya mereka akan mengatakan : Orang tersebut tidak diberikan sangsi hukuman, karena jiwa itu cukup untuk menolak perbuatan ini.’

Tidak diragukan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang paling batil. Andaikan saja pendapat ini tidak disebutkan niscaya kami tidak akan menyebutkannya. Akan tetapi, kami menyebutkan pendapat ini agar kita tahu bahwa sebagian ahli ilmu berpendapat dengan pendapat yang buruk sekali pada apa yang dia katakan. Apakah ia lupa bahwa Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah membinasakan negeri mereka, telah menghujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar (secara bertubi-tubi) dan membinasakan mereka ?

Tidakkah ia ingat bahwa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-telah bersabda,

«مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُوْلَ بِهِ»



Siapa yang kalian mendapatinya tengah melakukan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah si pelaku dan yang menjadi objeknya. [1]

Yang benar dari pendapat-pedapat ini adalah bahwa hukuman tindakan keji ini adalah ‘dibunuh’ pada segala kondisi, baik pelakunya telah menikah atau pun belum menikah, akan tetapi harus (terpenuhi) syarat-syarat (ditegakkanya) hukuman had yang telah lalu, yaitu, berakal, baligh, multazim, mengetahui akan keharamannya.

Bila syarat-syarat ditegakkannya hukuman had yang empat ini yang bersifat umum telah terpenuhi, maka pelaku perbuatan keji ini ‘dibunuh’.

Dalil yang menunjukkan kepada hal ini adalah :

Pertama, sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

«مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُوْلَ بِهِ»

Siapa yang kalian mendapatinya tengah melakukan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah si pelaku dan yang menjadi objeknya.

Kedua, Bahwa para sahabat-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ- sepakat bahwa hukumannya ‘dibunuh’ sebagaimana dihikayatkan tidak hanya oleh seorang ahli ilmu. Akan tetapi, mereka berselisih. Di antara mereka ada yang mengatakan, ‘pelakunya dibakar’. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Zubair, dan Hisyam bin Abdul Malik.[2]

Sementara, Ibnu Abbas mengatakan : Bahkan, dilihat kepada tempat yang paling tinggi di daerah tersebut dan ia (pelaku perbuatan keji tersebut) dilempar darinya dalam posisi kepalanya di bawah, dan diikuti dengan (dihujani) dengan batu [3]; karena Allah melakukan hal tersebut terhadap kaum Luth. Meski pun pendapat ini perlu ditinjau ulang.

Dan, sebagian ulama mengatakan, ‘Bahkan pelakunya dirajam sampai mati ; karena Allah menghujani kaum Luth dengan batu dari tanah yang terbakar. Adapun, diangkatnya negeri mereka kemudian dibalik, ini adalah berita israiliyyah, tidak dibenarkan dan tidak pula didustakan. Akan tetapi yang valid bahwa Allah menghujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar, dan Dia menjadikan yang di atas ke bawah, yakni, ketika batu itu menghujaninya maka negeri itu hancur dan jadilah yang di atas dia di bawah, lantas mereka dilempari dengan batu.

Inilah tiga pendapat terkait dengan bagaimana pelaku perbuatan kaum Luth ini dibunuh.

Adapun dalil teoritik akan wajibnya pelaku perbuatan keji ini dibunuh adalah karena (perbuatan) ini merupakan (hal yang akan menimbulkan) kerusakan masyarakat yang sangat besar. Kaum lelaki dijadikan menempati posisi kaum wanita. Dan tidak mungkin hal ini untuk dihindarkan darinya. Karena lelaki sebagian mereka akan tetap bersama dengan kalangan mereka selamanya. Karena, kalau kita mendapati seorang lelaki misalnya tengah bersama dengan seorang pemuda, maka tidak mungkin kita mengatakan kepadanya, ‘tinggalkanlah pemuda ini, apa yang telah engkau lakukan terhadapnya ?’. Akan tetapi, kalau kita mendapati seorang lelaki bersama dengan seorang wanita, sementara kita ragu apakah laki-laki tersebut termasuk mahrom wanita tersebut ataukah bukan, mungkin kita menanyakan dan mencari tahu.

Maka, ketika hal ini (perbuatan keji ini) merupakan perkara yang mengerikan yang merusak masyarakat dan tidak mungkin untuk menghindar darinya, maka jadilah balasannya (hukumannya) adalah ‘dibunuh’ pada setiap keadaannya. Dan pendapat inilah pendapat yang shahih (benar).

 

Wallahu A’lam

 

Sumber :

Asy-Syarh al-Mumti’ ‘Ala Zaad al-Mustaqni‘, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, 14/240-243

 

Amar Abdullah bin Syakir

 

Catatan :

[1]  HR. Imam Ahmad (1/300), Abu Dawud di dalam al-Hudud, bab : Fi man ‘amila ‘amala qaumi luth (4462), at-Tirmidzi, di dalam al-Hudud, bab : Ma-jaa-a fi haddi al-Luthiy (1456), Ibnu Majah di dalam al-Hudud, bab : Man ‘Amila ‘Amala Qaumi Luth (2561) dari Ibnu Abbas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا –dan dishahihkan oleh al-Hakim (4/355) dan disepakati oleh adz-Dzahabiy, dan dishahihkan oleh Ibnu Abdil Hadiy di dalam al-Muharrar (1152) dan (dishahihkan pula oleh) al-Baniy di dalam al-Irwa (2350)

[2]  HR. Al-Baihaqi (8/232) dari Abu Bakar dan Ali-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا -, dan lihat : ad-Dirayah (2/103) dan diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dari Ibnu Zubair –رضي الله عنه-dan Hisyam bin Abdul Malik. Lihat : al-Muhalla (11/381, 384)

[3]   HR. Ibnu Abi Syaibah (28337), al-Baihaqiy di dalam as-Sunan al-Kubra (8/232) dari Ibnu Abbas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا – dan isnadnya shahih, dan lihat : Nashbu ar-Rayah (3/342)

Subscribe Chanel Youtube Kami

Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: HisbahTv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *