Tatkala kita ingin membangun suatu usaha, kita pasti bercermin kepada pengusaha sukses yang membangun usahanya tahap demi tahap sampai menjadi perusahaan besar. Tatkala kita ingin menjadi orang pintar, kita pasti bercermin orang pintar dan berhasil agar kita bisa mengikuti langkahnya. Tatkala kita ingin sukses meraih ridha Allah subahanhu wa ta’ala kita pasti bercermin kepada orang yang paling diicintai oleh Allah subahanhu wa ta’ala, yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah guru teladan bagi kita dalam segala hal, cukuplah beliau sebagai figur yang pantas dijadikan cermin bagi seorang muslim. Beliau memulai berdakwah semenjak mendapatkan wahyu dan perintah dari Allah subahanhu wa ta’ala untuk berdakwah. Beliau berdakwah dari nol ketika belum memiliki pengikut sama sekali sampai akhirnya berhasil membawa jutaan bahkan miliaran manusia berbondong-bondong memeluk agama islam yang suci. Apa rahasianya? Mengapa beliau begitu sukses? Tidakkah kita mengikuti beliau dan berjalan dijalan beliau dalam ikut andil mengajarkan ilmu yang beliau wariskan?
Metode berdakwah sangatlah penting untuk diketahui sebelum memulai berdakwah, metode beliau terbukti dapat menarik jutaan manusia untuk mempelajari agama islam.
Dalam artikel kali ini kami ingin mengambil salah satu cuplikan dari rangkaian perjalanan dakwah beliau, agar kita memiliki wawasan tentang cara beliau menyampaikan ilmu kepada sahabat.
Suatu kali seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam , “ya Rasulullah, kami akan berlayar di lautan dan kami hanya membawa sedikit air, kalau kami berwudhu dengan mempergunakan air tersebut pasti kami akan kehausan, oleh karena itu bolehkah kami berwudlu dengan air laut? Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Laut itu suci airnya, (dan) halal bangkainya.” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya)
Di waktu yang lain Rasulullah shalallaahu alaihi wasalam pernah ditanya tentang pakaian seseorang yang sedang berihram, beliau menjawab:
لاَ يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْقَمِيْصَ وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ الْبُرْنُسَ وَلاَ السَّرَاوِيْلَ وَلاَ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلاَ زَعْفَرَانٌ وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ أَنْ لاَ يَجِدَ نَعْلَينِ فَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُوْنَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ
“Seorang yang berihram tidak boleh memakai baju, sorban, jubah yang disambung dengan penutup kepala, dan tidak pula pakaian yang dicelup dengan wars dan za’faran, tidak pula khuf, kecuali jika tidak mendapat sandal, dan hendaklah ia memotongnya hingga kelihatan kedua mata kakinya.” (HR. Bukhari & Muslim).
Jika kita perhatikan dua hadits diatas antara pertanyaan sahabat dan jawaban dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka akan kita dapati bahwa Rasulullah shallallahu alaih wa sallam memberikan jawaban lebih dari yang ditanyakan. Namun, tambahan jawaban yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bukanlah tambahan yang sia-sia, justru tambahan tersebut sangat dibutuhkan oleh penanya yang mungkin ketika ia bertanya hal tersebut belum terbesit dibenaknya namun sudah diprediksi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sehingga Rasulullah menyebutnya.
Pada hadits pertama sang sahabat bertanya tentang hukum berwudhu’ dengan air laut, Rasulullah menjawab hukum air laut sekaligus hukum bangkai laut. Karena suatu saat ketika sang sahabat berlayar dan perbekalannya habis ditengah laut, ia akan membutuhkan ilmu tentang hukum bangkai laut, oleh karena itu Rasul menyebutnya.
Begitu juga pada hadits kedua Rasulullah menjawab pertanyaan sahabat secara rinci tetang pakaian orang yang berihram dan menambahnya dengan tambahan yang dibutuhkan oleh penanya, sehingga ketika dilain waktu ia membutuhkannya tidak perlu lagi bertanya karena sudah rasul beritahu, dan ini suatu sikap cerdas dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yaitu memberikan apa yang dibutuhkan penanya walaupun belum ditanya. Dan inilah sikap yang patut kita contoh tatkala berdakwah atau mengajarkan ilmu kepada orang lain, yaitu memberikan apa yang ia butuhkan walau belum ditanyakannya.
Wallahu a’lam