**
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ جَاءَ أَبُو بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَ عَائِشَةَ وَهِيَ رَافِعَةٌ صَوْتَهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنَ لَهُ فَدَخَلَ فَقَالَ يَا ابْنَةَ أُمِّ رُومَانَ وَتَنَاوَلَهَا أَتَرْفَعِينَ صَوْتَكِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَحَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا قَالَ فَلَمَّا خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ جَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَهَا يَتَرَضَّاهَا أَلَا تَرَيْنَ أَنِّي قَدْ حُلْتُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَكِ قَالَ ثُمَّ جَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَاسْتَأْذَنَ عَلَيْهِ فَوَجَدَهُ يُضَاحِكُهَا قَالَ فَأَذِنَ لَهُ فَدَخَلَ فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَشْرِكَانِي فِي سِلْمِكُمَا كَمَا أَشْرَكْتُمَانِي فِي حَرْبِكُمَا
Dari Nu’man bin Basyir – Radhiyallahu anhu, ia berkata, Abu Bakar datang meminta izin kepada Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan mendengar Aisyah suaranya meninggi di hadapan Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- , beliau pun mengizinkannya masuk. Maka Abu Bakar pun masuk dan berkata, “Wahai anaknya Ummu Ruman, apakah engkau meninggikan suaramu di hadapan Rasulullah ?” sembari mencengkramnya. Nu’man berkata, Lalu Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-memisahkan antara bapak dan anaknya. Ketika Abu Bakar telah keluar, Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-berkata kepada Aisyah –agar ia ridha-: Tidakkah kamu lihat aku telah mendamaikan antara seorang lelaki dengan dirimu ?” Nu’man melanjutkan : Kemudian Abu Bakar datang lagi dan meminta izin kepada beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-dan mendapati beliau sedang mencandai Aisyah. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-pun mengizinkannya, lalu beliau masuk dan berkata: Ya Rasulullah, tidakkah engkau menyertakanku dalam keharmonisan Anda berdua sebagaimana anda berdua menyertakanku dalam percekcokan Anda berdua.” (HR. Imam Ahmad dalam Musnad (4/271-272), Abu Dawud (4999) dan dishahihkan Al-Albani).
Beberapa faedah hadis :
1-Hadis ini menerangkan tentang kelembutan dan ketawadhuan Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Kedudukan atau kepemimpinan beliau tidak membuat sombong dalam mempergauli keluarganya dengan baik. Meskipun mereka telah melakukan kesalahan dan semisalnya. Dan beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-lah yang memulai untuk berdamai.
2-Perbedaan pendapat antara suami istri adalah masalah yang wajar. Tetapi seyogyanyalah segera diselesaikan, dengan satu dari keduanya ada yang mengalah sesuai kemampuannya. Agar bahtera rumah tangganya bisa melaju dalam samudera dengan baik tanpa pecah atau pun tenggelam. Oleh karenanya dalam rumah tangga Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- terjadi permasalahan yang sebabnya bersumber dari para istrinya-رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-. Tetapi akhlak dan kelembutan Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjadi jaminan terpecahkannya problema tersebut. dan begitulah seharusnya para suami bersikap.
3-Disyariatkan bagi para wali untuk mendidik orang yang berada di bawah tanggungannya jika bersikap tidak baik terhadap suaminya. Hal demikian itu akan menjamin keharmonisan dan kelanggengan kehidupan saumi istri.
4-Hendaknya seorang suami menghiasi dirinya dengan sikap lemah lembut dan mengedepankan pertimbangan akal dalam menghadapi kekeliruan istri. Hendaknya ia berusaha memperbaiki kesalahan dengan cara yang bijak, tidak tergesa-gesa untuk menimpakan hukuman padanya atau memutuskan tali pernikahan. Dan hendaknya ia memaafkan kekeliruan istrinya dengan mengingat kebaikan-kebaikan lain yang dimilikinya yang membuatnya ridha. Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,
“Janganlah seorang Mukmin memarahi istrinya, jika ia benci terhadap satu akhlaknya boleh jadi ia ridha dengan akhlak lainnya.” (HR. Muslim)
5-Saat terjadi percekcokan keluarga seyogyanya segera menyelesaikannya, sebelum ia mengendap di hati dan merusaknya. Kemudian akan terjadi ketidaksenangan antara suami istri, yang menyebabkan sulitnya memecahkan permasalahan tadi. Seharusnya setiap suami atau istri saling memaafkan bila haknya dilanggar-selama tidak dalam kemaksiatan-demi menghilangkan percekcokan tadi dan memudahkan menyelesaikannya.
6-Seorang wali tidak selayaknya ikut campur dalam permasalahan anaknya dengan suaminya. Kecuali jika hal itu dilihatnya bermanfaat. Dan hendaknya ia menasehati dan menyabarkan anaknya agar melakukan sesuatu yang dapat membahagiakan suaminya dan meraih keridhaannya.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis riwayat Sahal bin Sa’ad-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –datang ke rumah Fathimah tetapi tidak mendapatkan Ali berada di rumah. Maka beliau bersabda (kepada Fathimah, putrinya), “Mana anak pamanmu ?” Ia menjawab, “Antara diriku dengannya ada permasalahan. Dan dia memarahiku lalu keluar dan tidak tidur siang di sisiku.” Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –bersabda kepada seseorang, ‘Carilah dimanakah ia. Orang itu datang lagi dan berkata, ‘Ya Rasulullah, ia sedang tiduran di masjid. Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –pun mendatanginya dan melihatnya sedang berbaring, dengan selendang terjatuh dari pundak, sementara tubuhnya terkena tanah. Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –pun mengambilkannya seraya bersabda, “Bangunlah wahai Abu Turab, bangunlah wahai Abu Turab.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hafizh Ibnu Hajar-رَحِمَهُ اللهُ – berkata, ‘Padanya ada beberapa faedah : “Menghibur menantu dan meredakan kemarahannya, dan beliau menyebutkan faedah lain selain ini.” (Fathul Baari, 1/539)
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Latha-if Wa Fawaid Min al-Hayati az-Zaujiyah Fii Baiti an-Nubuwwah, Khalid bin Abdurrahman Asy-Syaayi’, ei, hal. 42-46