Beliau adalah Ibrahim bin Tarekh bin Nahur bin Sarugh bin Raghu bin Faligh bin ‘Abir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh ‘alihissalam. Ibnu Jarir berkata, “nama ayahnya yang benar adalah ‘Aazar’ (sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an-red), atau mungkin dia punya dua nama, atau mungkin salah satunya gelar dan satunya lagi nama asli dan ini yang kemungkinan benar wallahua’lam.”
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam memulai dakwahnya dari orang terdekat dahulu, yaitu ayahnya sendiri (sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah pamannya bukan ayahnya) yang merupakan seorang penyembah sekaligus pembuat berhala. Beliau mengajak ayahnya dengan kata-kata lembut dan santun, Allah berfirman:
وَٱذكُر فِي ٱلكِتَٰبِ إِبرَٰهِيمَ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقا نَّبِيًّا. إِذ قَالَ لِأَبِيهِ يَٰأَبَتِ لِمَ تَعبُدُ مَا لَا يَسمَعُ وَلَا يُبصِرُ وَلَا يُغنِي عَنكَ شَئا
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu sedikitpun.” (QS. Maryam: 41-42).
Nabi Ibrahim alaihissalam memanggil ayahnya dengan kata أبت (Abati) yang berarti ‘wahai bapakku’, biasanya memanggil bapak adalah dengan kata أبي (Abi), namun tambahan huruf ت disini dalam bahasa arab menunjukkan panggilan yang sangat halus penuh penghormatan kepada seorang bapak. Kemudian beliau mulai menyampaikan dakwahnya dengan mengutarakan kata-kata yang seakan-akan mengajak ayahnya untuk berpikir secara logis, pantaskah benda mati yang tidak mendengar, tidak melihat apalagi memberi pertolongan disembah?.
Kemudian beliau melanjutkan:
يَٰأَبَتِ إِنِّي قَد جَاءَنِي مِنَ ٱلعِلمِ مَا لَم يَأتِكَ فَٱتَّبِعنِي أَهدِكَ صِرَٰطا سَوِيّا .
“Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS. Maryam: 43)
Nabi Ibrahim mengulang lagi kata أبت (Abati) dengan penuh penghormatan kepada sang ayah setelah itu baru beliau melanjutkan lagi perkataannya dengan kata-kata santun walaupun bapaknya adalah orang kafir. Beliau memberitahu ayahnya bahwa dirinya adalah seorang rasul yang diutus kepada kaumnya untuk menunjukkan kepada jalan yang lurus.
يَٰأَبَتِ لَا تَعبُدِ ٱلشَّيطَٰنَ إِنَّ ٱلشَّيطَٰنَ كَانَ لِلرَّحمَٰنِ عَصِيّا . يَٰأَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَاب مِّنَ ٱلرَّحمَٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيطَٰنِ وَلِيّا .
“Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan.” (QS. Maryam: 44-45).
Nabi Ibrahim terus mengulang kata أبت (Abati) sampai empat kali, beliau sangat berharap hati ayahnya dapat luluh mendengar ajakannya dan beriman kepada Allah subhanahu alaihi wa salam. Namun sayang semua kata-kata beliau tidak membuat hati ayahnya luluh, karena beliau hanya bisa berdakwah namun hidayah hanya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Ayah Nabi Ibrahim malah menjawab ajakan anaknya dengan kata-kata yang kasar, keras dan mengancam, dia berkata:
قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَن ءَالِهَتِي يَٰإِبرَٰهِيمُ لَئِن لَّم تَنتَهِ لَأَرجُمَنَّكَ وَٱهجُرنِي مَلِيّا
“Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (QS. Maryam: 46).
Mujahid dan Said bin Jubair rahimahumallah menafsirkan bahwa yang dimaksud واهجرني مليا (tinggalkanlah aku buat waktu yang lama) adalah setahun, sedang Hasan Basri menafsirkannya dengan waktu yang sangat lama, dan Assuddiy menafsirkannya dengan selamanya (Tafsir Ibnu Katsir).
Walau Nabi Ibrahim mendengar jawaban yang begitu keras dan mengancam dari ayahnya yang kafir, namun beliau tetap menjawabnya dengan kata-kata yang lembut dan santun, beliau berkata:
قَالَ سَلَٰمٌ عَلَيكَۖ سَأَستَغفِرُ لَكَ رَبِّيۖ إِنَّهُۥ كَانَ بِي حَفِيّا
“Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam: 47).
Maksud perkataan beliau سلام عليك adalah sebagaimana yang disebutkan oleh ibnu katsir: ‘engkau tidak akan mendapatkan balasan yang tidak menyenangkan dariku, dari sisiku engkau aman (Al-Bidayah wan Nihayah).’ Tidak hanya sampai disitu, beliau juga memohonkan ampun bagi ayahnya, memohon agar Allah memberinya ampunan, namun ketika ayahnya meninggal dalam keadaan tidak beriman, beliau berhenti memohonkan ampunan bagi ayahnya.
وَمَا كَانَ ٱستِغفَارُ إِبرَٰهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَن مَّوعِدَة وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُۥٓ أَنَّهُۥ عَدُوّ لِّلَّهِ تَبَرَّأَ مِنهُ إِنَّ إِبرَٰهِيمَ لَأَوَّٰهٌ حَلِيم
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah: 114).
Demikianlah kisah dakwah Nabi Ibrahim alaihissalam kepada ayahnya yang tidak beriman, beliau tidak rela membiarkan ayahnya dalam dalam kesesatan dan kekafiran sehingga nanti diakhirat kekal di neraka, beliau menyadari bahwa mengajak ayahnya untuk beriman adalah suatu kewajiban, namun kekafiran dan kesesatan ayahnya bukan berarti alasan untuk berkata-kata kasar ataupun menghardiknya, beliau tetap berbakti kepada ayahnya dan berbicara dengannya dengan kata-kata yang santun.
Semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kita.
Kisah ini kami petik dari Kitab Al-Bidayah wan Nihayah tentang kisah Nabi Ibrahim, Kitab Tafsir Al-Qur’anil Adzim yang keduanya adalah karya Ibnu Katsir.
Arinal Haq
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet
1 Komentar