Hidayah mutlak hanyalah milik Allah subhanahu wa ta’ala, Ia memberikannya kepada siapa saja yang dikehendakinya dan mencegahnya dari siapa saja yang dikehendakinya, Allah berfirman:
مَن يَهدِ ٱللَّهُ فَهُوَ ٱلمُهتَدِ وَمَن يُضلِل فَلَن تَجِدَ لَهُۥ وَلِيّا مُّرشِدا
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17)
Oleh karena itu kita selalu memohon hidayah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam setiap raka’at dalam shalat kita, kita selalu membaca dalam surah Al-Fatihah ayat 6:
ٱهدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلمُستَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6).
Tapi Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan jalan-jalan dan perantara bagi hambanya untuk mendapatkan hidayah. Ia memilih dari hamba-hambanya para pemberi petunjuk bagi hamba-hambanya yang lain, sehingga mereka dapat menggiring orang lain menuju hidayah Allah subhanahu wa ta’ala dan jalan yang lurus. Mereka adalah para Rasul dan orang-orang yang berjalan dijalan dakwah bersama mereka.
Alangkah indahnya jika kita termasuk kedalam golongan tersebut, berapa banyak pahala yang akan kita dapatkan jikalau kita menjadi sebab seseorang mendapat hidayah.
Dalam Perang Khaibar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan bendera perang kepada Sayiduna Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, kemudian bersabda:
فَوَ اللهِ ، لأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِداً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, apabila Allah memberikan hidayah kepada seorang laki-laki dengan perantaraan usahamu, maka hal itu lebih baik daripada engkau memiliki unta-unta merah.” (Muttafaq ‘Alaih).
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam menjelaskan hadits ini, “yang dimaksud dengan ‘humrun ni’am’ adalah ‘Unta merah’, dan ia adalah harta paling berharga bagi orang arab. Dan mereka seringkali menjadikannya sebagai perumpamaan bagi sesuatu yang sangat berharga dan tidak ada yang lebih berharga darinya. Dan telah kami jelaskan sebelumnya bahwa penyamaan antara balasan baik di akhirat dengan sesuatu yang berharga didunia hanyalah sebagai bentuk pendekatan kepada benak kita agar lebih mudah kita pahami. Sedangkan hakekat yang sebenarnya, maka setitik kenikmatan di akhirat yang kekal lebih baik dari dunia dan seisinya.”
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata dalam menjelaskan hadits ini, “jika orang alim dapat memperoleh pahala yang lebih baik dari onta merah apabila ia menjadi sebab seseorang mendapat hidayah, maka bagaimana dengan orang yang setiap harinya menjadi sebab hidayahnya banyak orang.”
Apalagi di zaman sekarang segala sarana untuk berdakwah sudah tersedia, hanya saja terkadang kita enggan untuk berdakwah dan mencari-cari alasan untuk menghindar dari dakwah. Padahal kita tidak tahu, mungkin Allah membuka hati dan memberikan hidayah kepada orang lain melalui sedikit ilmu yang kita sampaikan tanpa kita sadari.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits lain:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدىً كَانَ لَهُ مِنَ الَأجْرِ مِثلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ ، لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئاً
“Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikit pun.” (HR. Muslim).
Bahkan tidak sampai disitu, pahala orang yang berdakwah dan menyampaikan ilmu yang bermanfaat akan terus mngalir setelah ia meninggal, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara: Sedekah jariah, Ilmu yang bermanfaat, dan Anak shalih yang mendoakan untuknya.” (HR. Muslim).
Semoga Allah ta’ala senantiasa memberi hidayah kepada kita, dan menjadikan kita sebagai sebab hidayah bagi orang lain.
Penulis: Arinal Haq
1 Komentar