Dari Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya-, ia berkata, Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
مَنْ وَقَعَ عَلَى ذَاتِ مَحْرَمٍ فَاقْتُلُوْهُ
Barangsiapa menggauli perempuan yang merupakan mahromnya, maka bunuhlah dia (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 2564 di dalam kitab Hudud. Di dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Ismail bin Abu Habibah al-Anshari, dan dia adalah perowi dhaif (lemah). Akan tetapi ia dikuatkan oleh hadis Ibnu Abi Khaitsamah dalam tarikhnya dari hadis Mu’awiyah bin Qurrah dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-mengutusnya kepada seorang laki-laki yang telah berhubungan badan dengan istri bapaknya, maka Nabi- shallallahu ‘alaihi wasallam -memenggal lehernya dan membagi lima hartanya. Yahya bin Ma’in berkata,”Ini adalah hadis shahih”)
Dilaporkan kepada al-Hajjaj seorang laki-laki yang memperkosa saudarinya sendiri, maka dia berkata, “Penjarakan dia, dan tanyakanlah (mengenai hukumnya) kepada orang dari kalangan para Sahabat Rasulullah yang ada di sini.” Lalu mereka pun bertanya kepada Abdullah bin Mutharif, maka dia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
مَنْ تَخَطَّى حُرَمَ الْمُؤْمِنِيْنَ فَخَطُّوْا وَسَطَهُ بِالسَّيْفِ
Barangsiapa melangkahi kehormatan-kehormatan orang-orang yang beriman, maka belahlah bagian tengah tubuhnya dengan pedang (Disebutkan oleh al-Haitsami di dalam Majma’ az-Zawaid, 6/269 dan dia berkata , “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dan di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Rifdah bin Qudha’ah, dia dinyatakan terpercya oleh Hisyam bin Ammar dan didhaifkan oleh mayoritas ahli hadis)
Dalam hadis ini terdapat dalil atas hukuman mati dengan dibelah dua, dan ini merupakan dalil tersendiri di dalam masalah ini, dan bahwa siapa saja yang tidak boleh digauli dalam kondisi apa pun, maka hukuman had atas menggaulinya adalah hukuman mati, dalilnya adalah barangsiapa yang menggauli ibunya sendiri atau anak perempuannya sendiri, demikian juga dikatakan pada perbuatan menggauli perempuan yang merupakan mahrom dan menggauli perempuan yang tidak boleh menggaulinya dalam kodisi apa pun, maka hukuman hadnya adalah dihukum mati sebagaimana orang yang melakukan perbuatan homoseks.
Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang berzina dengan perempuan yang merupakan mahramnya, maka dia harus dihukum had, hanya saja para ulama berselisih dalam tata cara melangsungkan hukuman had tersebut, apakah yang penting dihukum mati dalam kondisi apa pun atau hukuman had yang harus diterimanya adalah had yang didapatkan oleh pezina (al-jawab al-kafi, hal. 199-200)
Dan sudah dimaklumi bahwa mahram adalah setiap perempuan yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki dengan keharaman yang bersifat abadi dan tidak dapat dihalalkan oleh apa pun.
Sumber :
Wa Laa Taq-rabuu al-fawaahisya, Jamal Abdurrahman Ismail (ei, hal.37-39)
Amar Abdullah bin Syakir