Hikmah sangat dibutuhkan dalam setiap urusan, tanpa hikmah suatu urusan tidak akan maksimal. Hikmah dalam berdakwah sangatlah ditekankan, karena dakwah merupakan suatu ibadah dalam bentuk interaksi dengan orang lain.
Definisi Hikmah
Ibnul Qayyim berkata dalam mendefinisikan hikmah:
فعل ما ينبغي، على الوجه الذي ينبغي، في الوقت الذي ينبغي
“Melakukan sesuatu yang harus dilakukan, dalam bentuk yang sebagaimana mestinya, dan pada waktu yang tepat.”
Dapat kita simpulkan bahwasanya hikmah adalah berkata atau berbuat dengan sebaik-baiknya, dalam kata lain ‘bijaksana’.
Allah subhanahu wata’ala mengajarkan kepada kita etika dalam berdakwah, Allah berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Nabi telah mengajarkan kebijaksanaan dalam berdakwah, Suatu Ketika beliau ingin mengirim Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu untuk berdakwah ke Negeri Yaman, beliau bersabda kepadanya,
“Engkau akan mendatangi orang-orang Ahlul Kitab (yahudi dan nashrani), maka hendaklah ajakan pertama yang engkau sampaikan kepada mereka adalah bersyahadat bahwasanya tiada tuhan (yang berhak disembah-red) selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, jika mereka menerima ajakanmu maka beritahulah mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sholat lima waktu…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Muadz radhiyallahu ‘anhu untuk memulai dakwahnya dari hal yang paling penting dahulu, yaitu mengajak mereka untuk bersyahadat, karena ia adalah rukun Islam pertama, tanpanya sebanyak apapun amal baik seseorang tidak akan diterima, baru jika mereka menerima ajakan tersebut ia memberitahu mereka tentang kewajiban-kewajiban yang Allah syari’atkan kepada mereka sebagai seorang muslim seperti sholat dan zakat. Dan begitulah yang harus didahulukan oleh seorang dai dalam berdakwah, yaitu memulai dari yang terpenting, dan ini adalah salah satu bentuk hikmah/kebijaksanaan seorang dai. Hal ini telah kami bahas dalam artikel kami yang berjudul: Mendahulukan Prioritas dalam “Ihtisab”.
Banyak ulama seperti Ibnul Qayyim dan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa rukun hikmah ada tiga, yaitu; ilmu, hilm (sabar), dan anaat (tidak terburu-buru).
Rukun pertama; ilmu, dan yang dimaksud disini adalah ilmu yang bermanfaat. Agar bisa mengambil sikap yang bijaksana dalam berdakwah, maka seorang dai membutuhkan bekal ilmu, sehingga dalam dakwahnya ia dapat menimbang dan mengambil sikap yang tepat.
Rukun kedua; hilm atau sabar, yaitu menahan atau mengontrol diri saat melonjaknya amarah. Sifat ini adalah sifat terpuji yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadits, Allah menyebutkan sifat orang-orang shaleh dalam firmannya:
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali-Imran: 134)
Dalam surat lain Allah berfirman:
وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan” (QS. Asy-Sura: 43)
Nabi pernah bersabda kepada seorang yang bernama Asyaj Abdu Qais ketika ia dan rombongannya datang kepada Nabi, “Engkau memiliki dua sifat yang dicintai oleh Allah, hilm (sabar) dan anaat (tidak terburu-buru).” (HR. Muslim).
Rukun ketiga; anaat (tidak terburu-buru), seorang dai harus berpikir secara matang sebelum mengambil suatu keputusan, atau memberikan suatu jawaban. Sehingga ia dapat meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Terburu-buru dalam berbuat dapat menyisakan penyesalan bahkan bisa berakibat fatal.
Misalnya jika ia ditanya tentang suatu permasalahan yang tidak ia ketahui, maka janganlah seorang ia langsung menjawab dengan logikanya kemudian menjawab langsung menjawab, tetapi hendaknya ia merujuk dahulu kepada Al-Qur’an atau hadits dan perkataan para ulama.
Allah melarang sikap terburu-buru dalam firmannya:
وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْماً
“Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur´an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”.” (QS. Thaha: 114)
Allah juga memerintahkan orang-orang yang beriman untuk tidak terburu-buru mempercayai berita yang datang kepadanya sebelum memastikan kebenarannya, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Tiga rukun ini ibarat kepala dan dua sayap bagi burung, dimana satu sama lain tidak bisa dipisahkan, ilmu adalah kepalanya, hilm dan anaat adalah kedua sayapnya.
Penyusun : Arinal Haq
Referensi : Website Al-Muhtasib www.almohtasb.com
Artikel : www.hisbah.net
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet