Sekembalinya Rasulullah – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – dari gua hira setelah menerima wahyu dari Allah – سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى -, yaitu firman-Nya,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5) [العلق : 1 – 5]
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajar (manusia) apa yang tidak diketahuinya (al-‘Alaq : 1-5)
Imam al-Bukhari meriwayatkan, ‘lalu Rasulullah – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – kembali dalam keadaan berdebar-debar hingga beliau masuk menemui Khadijah (istrinya), lalu beliau mengatakan (kepada Khadijah), ‘selimutilah aku, selimutilah aku.’ Maka, segera saja Khadijah menyelimutinya hingga rasa takut itu hilang dari beliau. Beliau kemudian berkata kepada Khadijah, ‘duhai Khadijah ! Ada apa gerangan dengan diriku, sungguh aku mengkhwatirkan diriku. Lalu, beliau memberitahukan berita itu (yang terjadi pada diri beliau) kepada Khadijah, Khadijah pun kemudian menanggapinya dengan mengatakan kepada beliau (suaminya), ‘Sekali-kali tidak.” Bergembiralah ! Karena demi Allah, Allah tidak akan merendahkan dan menghinakanmu selama-lamanya. Karena demi Allah, sesungguhnya engkau benar-benar gemar menyambung tali silaturahim, jujur dalam berbicara, memikul beban orang lain (tanpa pamrih), suka membantu orang yang lemah, memuliakan tamu, dan membantu orang-orang yang menolong kebenaran….(Shahih al-Bukhari, no. 4953).
Itulah contoh sebuah empati pasangan yang dapat menghibur pasangannya.
***
Suami-istri kadang melewati saat-saat dan hari-hari yang penuh kegembiraan dan kemesraan, dan kadang juga ada waktu yang dilalui dengan kesedihan dan kepedihan. Yang sedang berbahagia menanti orang yang mengucapkan selamat kepadanya, sementara yang bersedih menunggu siapa yang menghiburnya. Dan orang pertama yang dinantikan ikut serta (dalam suka dan duka itu) adalah suami atau istri, karena hal itu merupakan bukti nyata adanya kesetiaan dan cinta yang jujur. Dan secara otomatis tidak adanya seperti berarti pura-pura tidak tahu dan tidak peduli, yang dapat menyebabkan saling menjauhnya hati dan perasaan bosan.
Di sini ada perkara penting yang patut dicermati yaitu, bahwa salah satu dari suami-istri terkadang mengalami sesuatu yang dia lihat merupakan kebahagiaan dan kegembiraan atau sebaliknya, musibah yang menyedihkan, tetapi pasangannya tidak memiliki pandangan yang sama. Sebagai contoh, istri menangis manakala mendengar ucapan seorang temannya, yang dia anggap penghinaan baginya, sementara suami melihat bahwa ucapan tersebut tidak perlu ditangisi. Dalam kondisi seperti ini, suami hendaknya berempati terhadap perasaan istri dalam batas yang bisa diterima akal, sehingga bisa mengurai kemelut masalah bukan malah membesar-besarkan dan memperuncingnya, karena empati suami merupakan hiburan kepada istri dan membantunya untuk melewati masalah yang dihadapinya.
Yakni, pura-pura tidak tahu dari pihak manapun dari kedua suami-istri terhadap kegembiraan atau kesedihan pasangannya, adalah sesuatu yang tidak patut dilakukan oleh suami atau istri yang berusaha menjadikan hati mereka bersatu. Karena hati (yang telah menjadi) satu tidak mungkin sebagiannya merasa sedih atau bahagia, sementara yang lainnya bersikap tidak peduli dan mengejeknya.
**
Kita lebih kuat memikul beban berbagai musibah, daripada memikul kritikan teman-teman karnanya (Colton)
**
Wallahu A’lam
Amar Abdullah bin Syakir
Sumber :
Az-Zaujan Fi Khaimah as-Sa’aadah Maharat wa Wasa-il, Abdurrahman bin Abdillah al-Qar’awi, hal.34-35. Dengan sedikit tambahan.
Artikel: www.hisbah.net
Ikuti update artikel kami di Hisbah.net
Youtube: Hisbahtv
Instagram: Hisbahnet dan Al Hisbah Bogor