Berbicara Tentang Agama Tanpa Ilmu

Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan agama kepada umat manusia melalui wahyu yang diturunkan kepada para rasul untuk menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan menuju ridha Allah dan kebahagiaan abadi di akhirat. Agama yang Allah turunkan berisi aqidah, syariat, dan akhlak yang jika dipelajari dan diamalkan akan menuntun manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan agama harus bersumber dari sumbernya sebagaimana yang Allah inginkan dan bukan dari akal-akalan manusia semata.

Zaman sekarang banyak orang-orang  yang terlalu mudah untuk berfatwa atau menyampaikan tentang agama tanpa ilmu atau diluar daripada ilmu yang mereka miliki. Mereka baik disadari atau tidak telah memaksakan diri untuk berbicara tentang agama melalui akal-akalan mereka tanpa bersandar kepada ilmu yang mapan tentang permasalahan yang mereka bicarakan demi mempertahankan nama atau kedudukan mereka dikalangan masyarakat.

Hal ini tentu berbahaya sekali bagi mereka dan kaum muslimin terutama orang-orang awam dimana ilmu yang mereka terima tidak bersumber dari sumber agama yang benar melaikan dari akal-akalan orang yang mereka percayai sebagai orang alim. Banyak orang yang salah perspektif dalam memahami islam disebabkan hal tersebut.

Tanpa menuding atau mengarahkan jari telunjuk kepada  pihak tertentu, terkadang kita sendiri juga melakukan hal yang sama baik disengaja atau karena dorongan tertentu yang membuat kita berbicara tentang agama diluar ilmu yang kita ketahui. Dengan demikian maka kita telah membebankan kepada diri kita tanggung jawab dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala yang seharusnya tidak menjadi tanggung jawab kita.

Alangkah baiknya jika kita ditanya tentang perihal agama yang tidak kita ketahui kita menjawab ‘saya tidak tahu,’ itu lebih selamat daripada kita memaksa diri kita untuk berbicara perihal dalam agama yang tidak kita ketahui.

Malukah kita berterus terang tentang ketidaktahuan kita ketika kita tidak tahu padahal dahulu Imam Malik dengan mudahnya menjawab ‘katakan kepada mereka bahwa Malik tidak tahu’ ketika didatangi oleh sekelompok orang dan mereka bertanya kepadanya tentang 40 permasalahan dalam agama sedang beliau hanya menjawab beberapa saja dan tidak bersedia menjawab yang lainnya karena tidak ingin menjawab tanpa ilmu.

Padahal beliau salah satu dari imam yang empat dan guru besar dari seorang Imam Syafii yang ilmunya senantiasa dipelajari oleh kaum muslimin sepanjang masa. Jika demikian hati-hatinya Imam Malik yang ilmunya memenuhi bumi dari timur ke barat maka bagaimanakah dengan kita yang mungkin hanya hafal beberapa surah dan hadits??

Manakah kita dari kewara’an Imam Syafii –murid Imam Malik- tatkala mengatakan, : jika kalian mendapatkan perkataanku bertentangan dengan perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maka lemparlah perkataanku ke tembok dan ambillah perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Padahal tentang Imam Syafii tak perlu kita ulangi lagi tentang siapa beliau dan kedalaman ilmu beliau.

Cukup menjadi kemuliaan bagi Imam Syafii bahwasanya banyak dari ulama yang datang setelah beliau menisbahkan diri mereka kepada madzhab beliau, sehingga ketika kita membaca biografi para ulama kita akan banyak mendapatkan bahwasanya banyak dari mereka bermadzhab dengan madzhab Syafii, sehingga ada istilah ‘Ulama Syafiiyah,’ disamping Imam Syafii juga orang pertama yang menulis ilmu ‘Ushul Fiqih.’

Sebagian ulama mengatakan:

الكلام عن الدين كلام عن رب العالمين

“Berbicara tentang agama sama saja berbicara tentang Allah tuhan semesta alam.”

Dan memang benar demikian, karena agama bagaikan pesan dari Allah kepada manusia dan jin yang harus ditaati, sehingga tatkala berbicara tentang agama maka sama saja kita berbicara tentang pesan tersebut, maka tidak boleh diterka-terka sembarangan tanpa mengambilnya dari ulama yang mereka merupakan penerus dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menerima wahyu dari Allah ta’ala.

Allah subahanhu wa ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (QS. Al-A’raf: 33)

Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. (HR. Bukhari & Muslim, dan lainnya).

Namun bukan berarti kita harus menyembunyikan ilmu yang kita ketahui, karena menyembunyikan ilmu yang diketahui juga tercela kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu yang tidak akan dibahas disini.

Kesimpulannya adalah kita menyampaikan ilmu agama pada batas pengetahuan kita dan tidak melebihinya agar tidak tergolong dari orang-orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu.

Wallahu a’lam bisshowab

Penulis : Arinal Haq

 

Artikel : www.hisbah.net

Ikuti update artikel di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *