Pada masa jahiliyah riba memiliki beberapa aplikatif :
Bentuk pertama : Riba pinjaman. yakni yang direfleksikan dalam satu kaedah di masa jahiliyah : “Tangguhkanlah hutangku, aku akan menambahnya.”
Misalnya seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran, orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia berkata,” Tangguhkanlah hutangku, aku akan memberikan tambahan.” Yakni, perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan aku bayar. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang, atau (bila berupa binatang) dengan penambahan umur binatang. Kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.
Qatadah mengatakan :
Sesungguhnya riba di masa jahiliyah bentuknya sebagai berikut, ada seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tunda. Kalau sudah datang waktu pembayarannya, sementara orang yang berhutang itu tidak mampu membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya.”
Atha’ menuturkan, “Dahulu Tsaqif pernah berhutang uang kepada bani al-Mughirah pada masa jahiliyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka berkata, “Kami akan tambahkan jumlah hutang yang akan kami bayar, tetapi tolong ditangguhkan pembayarannya.” Maka turunlah Firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba yang berlipat-lipat ganda.” (Qs. Ali Imran : 130)
Ibnu Qayyim menyatakan dalam I’lam al-Muwaqqi’in,”Adapun riba yang jelas adalah riba nasi’ah. Itulah riba yang dilakukan oleh masyarakat Arab di masa Jahiliyah, seperti menangguhkan pembayaran hutang namun menambahkan jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan, semakin bertambah jumlahnya, sehingga hutang seratus dirham menjadi beribu-ribu dirham (Lihat, I’lam al-Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim, 2/135)
Imam Ahmad pernah ditanya tentang riba yang tidak diragukan lagi unsur ribanya. Beliau menjawab, ‘Ada orang yang menghutangi seseorang, lalu ia berkata,’Anda mau melunasinya, atau menambahkan jumlahnya dengan ditangguhkan lagi ?’ Kalau orang itu tidak segera melunasinya, maka ia menangguhkan masa pembayarannya dengan menambahkan jumlahnya.”
Bentuk kedua : Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya. Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.
Al-Jashshash menyatakan, “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibanyar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama. (Ahkam al-Qur’an, 1/465)
Di lain kesempatan, beliau menjelaskan : Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Allah menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya (Ahkam al-Qur’an, 1/67)
Bentuk ketiga : Pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan (secara berkala)
Fakhruddin menyatakan, “Riba nasi’ah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyah. Yakni bahwa mereka biasa mengeluarkan agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar. Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyah (Tafsir ar-Razi, 4/92)
Ibnu Hajar al-haitami menyatakan, “Riba nasi’ah adalah riba yang populer di masa jahiliyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uangnya kepada orang lain untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil sejumlah uang tertentu tiap bulannya dari orang yang berhutang sementara jumlah piutangnya tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang dia hutangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar (Az-Zawajir An Iqtirab al-Kabair,1/222)
Sumber :
Maa-Laa Yasa’ at-tajira Jahluhu, Prof. Dr. Abdullah al-Muslih dan Prof. Dr. Shalah ash-Shawi (eid, hal. 344-346)
Amar Abdullah bin Syakir