Kita tahu, bahwa hijab adalah lafazh umum, yang berarti: as-satru (menutupi). Dan maksudnya di sini, adalah sesuatu yang dapat menutupi tubuh wanita dan perhiasannya; berupa: pakaian, permata dan perhiasan lain yang dipakainya dari penglihatan para laki-laki yang bukan mahramnya. Dan, berdasarkan pada pengamatan terhadap konteks nash-nash yang ada, merupakan salah satu dari dua hal:
Pertama, hijab dengan berdiam diri dalam rumah, karena rumah dapat menghalangi (tubuh) perempuan dari penglihatan kaum laki-laki lain dan berbaur dengan mereka.
Kedua, menutupi tubuhnya dengan pakaian, yang terdiri dari jilbab dan kerudung, yang disebut dengan “al-âbâ’ah” dan “al-musfi’”.
Jadi, definisi hijab dengan pakaian adalah, menutup seluruh tubuh perempuan termasuk muka, kedua telapak tangan, kedua telapak kaki dan perhiasan yang dipakainya, dengan sesuatu yang bisa menghalangi pandangan laki-laki lain untuk dapat melihat sedikit pun dari semua itu. Hijab ini berupa: “al-khimâr” (kerudung) dan “al-jilbâb” (jilbab).
Pertama, al-khimâr adalah bentuk mufrad, sedang jamaknya adalah khumur, arti asalnya: menutupi, yaitu sesuatu yang dipakai oleh wanita untuk menutupi kepala, muka, leher dan dadanya.
Setiap sesuatu yang kamu tutupi, maka kamu telah mengkerudunginya. Di sana terdapat hadits yang menceritakan perjalanan seseorang yang sedang menunaikan ibadah ihram yang berbunyi:
لاَتُخَمِّرُوْا رَأْسَهُ وَلاَ وَجْهَهُ
“Janganlah kalian menutupi kepala dan mukanya” (HR. Muslim)
Di sana juga terdapat hadits masyhur yang mengatakan:
خَمِّرُوْا آنِيَتَكُمْ
“Tutupilah tempat-tempat makananmu”, maksudnya tutupi mulut dan permukaannya.
An-Numairi pernah melantunkan syair yang berbunyi:
يُخَمِّرْنَ أَطْرَافَ الْبَنَانِ مِنَ التُّقَى وَيَخْرُجْنَ جُنْحَ الَّليْلِ مُعْتَجِرَاتٍ
Para wanita itu menutupi ujung jemarinya, karena takwa.
Saat hari menjelang malam, mereka pun keluar dengan memakai kerudung
Khimâr ini menurut orang Arab juga disebut dengan “al- Miqna’” (tutup kepala), yang bentuk jamaknya adalah “Maqâni’”, berasal dari lafazh “Taqannu’” yang berarti: as-satru (menutupi). Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam kitab Musnad, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika melakukan shalat dua rakaat, beliau mengangkat kedua tangannya sambil berdoa. Kemudian dengan kedua tangannya itu, beliau menutupi mukanya.
Di sana juga terdapat nama lain dari khimar, yaitu: “an Nashîf”. Nabighah, seorang penyair ketika menyifati seorang wanita, ia bertutur:
سَقَطَ النَّصِيْفُ وَلَمْ تُرِدْ إِسْقَاطَهُ فَتَنـَاوَلَتْـهُ وَاتَّقَتْنـَا بِالْيـَدِ
Kerudung pun telah tersingkap, Namun, ia tak bermaksud melepasnya. Seketika, ia pun merengkuhnya kembali menutupi (muka) dengan tangannya takut oleh pandangan kita.
Di samping itu, khimâr terkadang juga dinamakan dengan istilah “al-ghadfah”, berasal dari kata “ghadafa”, yang menunjukkan makna “as-satru” dan “at-taghthiyah”, berarti: menutupi. Dikatakan, aghdafat al-mar’atu qinâ’ahâ, berarti: arsalathu ‘alâ wajhihâ. Artinya, “Ia menutupkan kerudung ke mukanya.”
Antarah pernah melantunkan sebuah syair yang berbunyi:
إِنْ تُغْـدِفِيْ دُوْنِيْ الْقِنَاعَ فَإِنَّنِيْ طَبٌّ بِأَخْذِ اْلفَارِسِ الْمُسْتَلْئِمِ
Meski engkau menutupkan cadar untuk menghalangiku, namun …. Aku adalah si pandai, menangkap penunggang kuda yang berbaju besi.
Juga, khimâr dinamakan dengan istilah “al-musfi’”, yang dalam bahasa Arab berarti: pakaian apa saja. Dan bagi kebanyakan orang awam, khimâr juga disebut dengan istilah “asy-syîlah”.
Adapun cara pemakaiannya, ialah wanita meletakkan kerudungnya di atas kepalanya, lalu melipatkannya pada lehernya dalam bentuk melingkari mukanya, sedangkan yang selebihnya lagi bertautan pada muka, jakun dan dadanya. Dengan demikian, maka seorang wanita tersebut dinyatakan telah menutupi aurat atau anggota tubuh, yang biasanya ia buka ketika sedang berada dalam rumahnya.
Lalu, khimâr ini disyaratkan agar tidak tipis, sehingga dapat terlihat apa yang ada di baliknya, seperti: rambut, muka, leher, jakun, dada dan tempat anting-anting (telinga).
Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhyiallahu ‘anha, ia berkata, “Aku melihat Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan ia mengenakan kerudung tipis sehingga terlihat transparan dahinya, lalu Aisyah radhiyallahu ‘anha merobeknya dan berkata, “Tidakkah kamu tahu firman Allah ta’ala dalam surat an-Nûr?” Selanjutnya, Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta untuk diambilkan kerudung, lalu mengenakannya pada Hafshah”.
Kedua, al-jilbâb, bentuk jamaknya “jalâbîb”, yaitu: kain atau pakaian tebal yang menyelimuti anggota tubuh seorang perempuan, mulai dari kepala hingga kedua telapak kakinya. Atau dengan kata lain, menutupi seluruh anggota tubuh beserta pakaian dan perhiasan yang dipakainya.
Disebut pula dengan istilah “al-mulâ’ah”, “al-milhafah”, ar-ridâ’, “ad-ditsâr” dan “al-kisâ’”. Dikenal pula dengan nama “al-‘abâ’ah”, yang umumnya dipakai oleh kaum wanita di jazirah Arab.
Sedangkan cara pemakaiannya adalah, dengan meletakkannya di atas kepala seorang wanita dalam keadaan menutupi kerudung dan seluruh anggota tubuhnya, termasuk perhiasan yang dipakainya, bahkan sampai menutupi kedua telapak kakinya.
Dengan demikian bisa diketahui, bahwa di antara syarat-syarat al-‘abâ’ah -supaya dapat memenuhi fungsinya, yaitu: menutup seluruh anggota tubuh wanita, beserta pakaian dan perhiasan yang dipakainya- adalah:
- Tebal, tidak transparan ataupun tipis.
- Ciri atau sifatnya tidak menempel atau melekat.
- Berukuran lebar sehingga tidak sampai memperlihatkan lekak-lekuk bentuk tubuh wanita.
- Terbuka dari bagian depannya saja, sedang lobang pada lengan bajunya agak sempit.
- Pemakaiannya mulai dari atas kepala, bukan dari atas kedua pundak. Karena, jika dipakai mulai dari atas kedua pundak, berarti itu menyelisihi istilah jilbab yang telah diwajibkan oleh Allah ta’ala terhadap para wanita yang beriman. Di samping itu dapat memperlihatkan sebagian anggota tubuh wanita, dan menyerupai bentuk pakaian kaum laki-laki.
- Hendaknya abâ’ah ini bukan dikategorikan jenis perhiasan, baik pada zatnya maupun berdasarkan pada perhiasan yang terlihat, semisal: mode atau trend, bordiran-bordiran atau hiasan-hiasan, simbol-simbol dan tulisan-tulisan.
- Hendaknya jilbab atau abâ’ah tersebut menutup mulai dari atas kepala hingga kedua telapak kaki. Dari sini bisa diketahui, bahwa memakai pakaian yang disebut dengan “nishfu fijjah”, yaitu: pakaian yang menutupi tubuh hingga lutut saja, tidak dikatakan sebagai hijab syar’i.
Peringatan:
Di antara hal-hal yang baru adalah, menulisi pada jilbab tersebut nama pemiliknya, atau huruf-huruf depan dari namanya, baik dengan memakai bahasa Arab ataupun bahasa lain, di mana dapat dibaca oleh orang yang melihatnya. Semua ini tak lebih merupakan bentuk pelecehan baru terhadap wanita, dan fitnah besar yang bisa mendatangkan petaka bagi wanita. Maka, hukum membuat hal ini dan memperjualbelikannya adalah haram. Wallahu A’lam.
Sumber : Hirasatu al-Fadhilah, Syaikh bakar bin Abdillah Abu Zaed, penerbit : Darul ‘Ashimah, hal. 27.
(Amar Abdullah/hisbah.net)
Ikuti update artikel Hisbah di Fans Page Hisbah.net
Twitter @Hisbahnet, Google+ Hisbahnet